7

233 27 2
                                    

Bapak sakit lagi. Memang sudah beberapa tahun terakhir ini Bapak sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit diabetes yang dideritanya. Kata anak buahnya, Bapak sempat jatuh pingsan di kebun. Untung ada yang menemukan. Mang Rahim yang sedang kerja hari itu.

"Kenapa Bapak dibiarkan keliling kebun sendirian? Memang tidak ada yang bisa menemani apa? Kan saya sudah pesan berkali-kali, jangan sampai Bapak sendirian kalau meninjau kebun," aku memarahi anak buah Bapak di rumah sakit setelah Bapak mendapatkan perawatan intensif. Anjang, nama anak buah Bapak itu merupakan tangan kanan Bapak, dia yang memberitahu sekaligus mengantar Bapak bersama supir ke rumah.

Dia menunduk begitupun supir yang berdiri di sampingnya. Tidak ada satu pun yang bersuara untuk memberikan jawaban.

"Lain kali, kalau Bapak mau keliling kebun ditemani. Kalau perlu jangan biarkan jalan kaki. Kalau bisa pakai kendaraan. Pakai mobil kalau jauh. Kalau mau pakai motor diperhatikan betul kondisi Bapak, jangan sampai Bapak tertidur di jalan selama dibonceng. Paham!"

Anjang mengangguk. Sementara si supir terus menunduk.

"Kalau ada kejadian seperti ini lagi segera telepon saya atau kakak saya. Sudah disimpankan nomor saya dan nomor kakak saya tadi?"

Anjang mengangguk lagi.

"Jangan lagi ditunggu seperti begini. Kalau Bapak ada apa-apa bagaimana?"

Sebenarnya tidak sepenuhnya salah anak buah Bapak juga. Bapak memang susah diberitahu. Sudah kerap kali aku dan Kakak mengingatkan jangan lupa membawa telepon gengam kalau bepergian apalagi ke perkebunan, biar kalau ada apa-apa gampang menghubungi. Akan tetapi, Bapak selalu lalai dan kelupaan. Handphonenya selalu ketinggalan di rumah.

Anjang masih berdiri di depanku meremas tangannya yang sedari tadi saling mengepal. Begitupun si supir.

"Saya minta maaf, Anjang. Menjaga kesehatan Bapak sekarang ini harus jadi prioritas kita. Memang jadi tanggung jawab kita bersama termasuk Anjang dan kawan-kawan di perkebunan. Karena kita semua menggantungkan harapan dan hidup kita sama Bapak,"

"Iya, Mbak. Saya minta maaf juga karena lalai waktu itu. Jelas kami paham sekali soal yang Mbak katakan. Bapak sudah kami anggap orang tua kami. Kami pasti punya tanggung jawab atas kesehatan Beliau." Anjang akhirnya berani bersuara.

Aku menepuk lembut bahu Anjang. "Ma kasih, Anjang."

Perkebunan sawit Bapak sebenarnya tidak terlalu jauh jaraknya. Satu jam dari tempat tinggal kami. Di luar kota. Bapak tidak pernah mau mempekerjakan seorang supir khusus. Dia cuma memanggil supir di perkebunan untuk menjemput dan mengantarnya sesuai jadwal yang dia minta. Supir itu pun cuma punya pick-up, waktu pingsan terpaksa Bapak diantar ke rumah dengan dibaringkan di bak belakang didampingi Anjang. Tidak ada yang berinisiatif untuk membawa Bapak ke rumah sakit. Bapak dibawa saja ke rumah. Anjang malah berinisiatif menungguku hingga pulang dari kerja.

Otomatis aku langsung menyuruh Bapak diboyong ke mobil untuk dilarikan ke rumah sakit. Bapak memang sudah sadar. Tetapi badannya lemas setengah mati. Tidak ada suaranya.

Kami tiba di Unit Gawat Darurat. Bapak langsung diambil alih perawat dan dokter. Setelah diperiksa beberapa kali. Dokter langsung menyarankan agar Bapak dirawat.

Sepeninggalan Anjang dan supir yang minta izin untuk kembali ke perkebunan membuatku sendiri di ruang tunggu. Aku kembali termenung. Kejadian ini memang sudah terjadi sebelumnya. Tetapi waktunya datang lebih cepat dari perkiraan, mundur tujuh bulan dari tanggal seharusnya, padahal aku sudah hapal betul tanggal kejadian. Aku sudah mempersiapkan semua kemungkinan. Bahkan aku sudah berencana mengajukan izin tidak masuk kantor untuk hari itu demi menemani Bapak ke kebun. Tubuhku bergetar hebat. Aku merasa Tuhan semakin mempermainkanku!

Perempuan Dalam Kurungan Waktu (TAMAT)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin