1

1K 53 5
                                    

"Sudah bulat tekadmu menghapus semuanya termasuk anak-anak dari hidupmu demi sebuah mesin waktu, Mazaya?"

Aku mengangguk.

"Aku bertanya untuk yang kesekian kali padamu, Mazaya. Sudah benar-benar bulat keyakinanmu untuk menghapus kehidupan sekarang demi kehidupan baru yang kau impikan? Kau akan kehilangan aku dan anak-anak?" lelaki yang berstatus suamiku tersebut kembali menanyakan. Suaranya tegas dan mengancam walaupun tidak ada nada keras di sana.

Aku mematung.

Lelaki itu beringsut, meraih tanganku. Tapi kutepis.

"Aku memang payah. Tidak mampu menghidupimu dengan layak. Membawamu dalam ceruk masalah bertubi-tubi. Menyiksa batin dan ragamu dengan kemelaratan. Penghinaan orang. Hutang. Bahkan rasa takut. Aku memang pantas dihukum. Tapi anak-anak, Mazaya," lelaki itu kembali berusaha meraih tanganku, tapi kembali kutepis. "Anak-anak tidak tahu apa-apa atas masalah kita. Kenapa mereka juga harus berkorban? Mereka tidak punya salah apapun dalam masalah rumah tangga kita ini, Mazaya."

"Aku sudah menimbang semuanya. Apabila tidak ada pertemuan, tidak ada pernikahan, maka tidak ada anak-anak. Tidak ada yang tersakiti. Tidak ada yang dirugikan," jawaban yang kuberikan membuat mata suamiku membeku.

"Mana rasa keibuanmu, Mazaya?" lelaki itu dingin bertanya.

"Jangan terus menyudutkan aku, Azzam Sima! Kau yang membuat aku memutuskan semua ini. Kau yang pantas disudutkan! Kau yang bersalah atas semua kekacauan dalam rumah tangga kita. Kau yang membawa masalah. Kenapa kau selalu menyudutkan aku?" air mataku meleleh tanpa sadar.

"Mazaya, kau selalu salah sangka. Aku tidak pernah menyudutkanmu. Aku cuma bertanya, sebagai seorang ibu apakah kau rela melepas anak-anak demi impian baru? Impian yang dijanjikan mesin waktu itu? Impian yang tidak ada jaminannya?" telunjuk Azzam Sima mengacung ke arah pintu ruangan di mana kami berada.

"Mana tanggung jawabmu sebagai laki-laki?" aku kembali menudingnya. Aku selalu melakukan hal itu apabila dalam pertengkaran merasa tersudutkan.

"Aku sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi sosok yang kau inginkan. Aku berjuang untuk menjadi kaya raya seperti keinginanmu sehingga bisa memuaskanmu secara materi. Tapi, Baru empat tahun, Mazaya. Kita belum lama menikah. Aku butuh waktu. Tolong, kasih aku waktu. Kau hanya perlu sedikit bersabar," bulir-bulir keringat di pelipis Azzam Sima mulai mengalir.

"Empat tahun hidup melarat dan tertekan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Kau tidak bisa membuktikan apa-apa! Kau gagal sebagai laki-laki!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di wajahku tanpa kusadari.

"Agar kau sadar," sahut lelaki itu. Gerahamnya mengatup.

"Kenapa cuma satu kali! Berkali-kali saja, karena besok atau di masa depan kau tidak akan bisa menamparku lagi!" aku menantangnya.

Suamiku mengepal tangannya. Gerahamnya semakin mengeras kaku. Nafasnya tampak naik turun.

"Kau tahu, Mazaya. Persetan dengan mesin waktu yang kau puja-puja itu! Aku tidak pernah mempercayai mesin setan itu! Kau pikir barang itu bakal mampu menyelesaikan masalah yang kau hadapi sekarang? Itu cuma pelarian. Kau tidak menyelesaikan apa-apa. Sadarlah, Mazaya. Berhentilah bersikap egois. Pernikahan itu bukan dongeng. Kalau kau pikir dengan menikah kau akan menemukan kebahagiaan mutlak dan abadi yang kau impikan, kau salah besar. Pernikahan itu sebuah perjuangan dan keikhlasan, Mazaya. Ketika kau menikah kau akan terus menemukan masalah. Itulah tugas kita sebagai orang tua, menyelesaikan masalah dalam pernikahan kita. Kalau kau begitu mudahnya menyerah, maka kau tidak akan pernah mampu menikah. Bukan saja tidak mampu denganku, kau pun tidak akan pernah mampu dengan siapapun."

Perempuan Dalam Kurungan Waktu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang