SIBLINGS

40 3 2
                                    

SIBLINGS
By #Grim

Gadis berambut hitam panjang itu meringis menahan nyeri. Pergelangan tangannya yang kurus telah penuh dengan luka sayatan. Tangan kirinya tak berhenti gemetar, sedangkan tangan kanannya masih memegang sebuah silet yang masih meneteskan darah segar.

Ia kembali meringis saat tangan kanannya bergerak perlahan, mengiris daging tipis di lengan kirinya. Sakit, tapi ia seolah menikmatinya. Di gigitnya bibir mungilnya menahan perih namun lama kelamaan semakin ia menahan hasratnya cairan kental yang terasa asin mulai mengecap di lidahnya.

"Aku butuh... Aku butuh kau, kakak...," ucapnya lirih

*****

Tamparan keras melayang di pipi mulus gadis itu, di susul jambakan kasar pada rambutnya memaksa ia menahan berat tubuhnya agar tak terjatuh kebelakang.

"Tanpa ku kau tidak bisa apa-apa, Rhea!" umpat kasar remaja pria yang menjambak rambut Rhea.

"Ma-maafkan aku, kak Rheon...," pinta Rhea memelas.

"Perlihatkan tangan mu!" pinta Rheon kasar.

Rhea menggulung lengan sweater yang ia kenakan perlahan.

"Cepat!" kata Rheon tak sabaran.

Luka bekas jeratan yang masih baru terlihat di lengan Rhea. Ia meringis kesakitan ketika Rheon menggenggam paksa lengannya untuk melihat luka itu.

"Siapa?! Aku tau ini bukan luka yang ku berikan?!" tanya Rheon murka.

Rhea menggeleng. Rheon menatap nanar wajah adiknya yang kian menunduk ketakutan dan bungkam seribu bahasa.

"Cih! Sialan! Cepat masuk ke kamar mu, sekarang!" perintah Rheon

Rhea kemudian memasuki kamarnya lalu mengunci pintunya rapat-rapat. Ia terduduk di balik pintu itu dan mulai tertawa perlahan. Dia memegang pipinya yang baru saja kakaknya tampar lalu kembali terkekeh dengan senyuman janggal tersungging di bibirnya.

"Hanya kau, aku hanya butuh kau kakak. Kalau aku buat lebih banyak kesalahan, kalau aku buat lebih banyak luka lagi, apakah kau akan terus bersama ku? Jangan tinggalkan aku kakak, aku ingin terus seperti ini," ucap Rhea senang sambil mengelus pipinya

Keesokan harinya, saat Rhea tengah menunggu kedatangan sang kakak, ia terkejut kala membukakan pintu rumah yang ia dan kakaknya tinggali berdua selama ini.

"Ka-kakak??" tanya Rhea terkejut sambil mundur selangkah kebelakang.

Rambut hitam Rheon ia cat berwarna coklat kemerahan. Dua anting-anting terpasang di telinga kirinya. Dan sebatang rokok yang asapnya masih mengepul terselip di bibir Rheon. Ingatan Rhea seolah di putar ulang. Penampilan itu sangatlah mirip dengan ayah yang meninggalkan mereka berdua bersama ibu mereka sebelum akhirnya sang ibu meninggal karena bunuh diri. Ayahnya adalah orang yang kasar dan kerap melakukan kekerasan terhadap Rhea dan ibunya. Sementara Rheon yang jelas menentang tindakan sang ayah dulu kini malah berubah menjadi seperti dia.

"Apa?!" tanya Rheon dingin.

Napas Rhea mulai tak beraturan. Detak jantungnya pun mulai tak terkendali. Rhea mencengkram kerah bajunya kuat-kuat, menahan hasrat yang kian menggebu-gebu dalam dirinya.

"Kau seperti ayah," ucap Rhea dengan suara pelan.

Rheon mencengkram kerah baju adiknya. Dan kemudian menghempaskan begitu saja tubuh Rhea hingga menghantam dinding.

"Katakan sekali lagi!" pinta Rheon sambil mencengkram dagu adiknya.

"Kau seperti ayah," ulang Rhea.

"Kalau begitu akan ku lakukan hal yang sama seperti pria brengsek itu selalu lakukan pada ibu dulu," seringai Rheon.

Rheon menjambak rambut panjang adiknya dan menyeretnya ke arah wastafel yang berada di dapur. Ia kemudian membuka keran yang ada dan membiarkan air memenuhi wastafel itu. Lalu dengan kasar ia mulai menenggelamkan wajah Rhea ke dalam wastafel itu dan menahannya agar tetap di dalam air dalam jangka waktu yang cukup lama sebelum ia mengangkatnya lagi.

Rhea terbatuk mengeluarkan air yang mulai masuk ke dalam saluran pernapasannya. Setelah beberapa kali, Rheon kemudian menghentikan apa yang ia lakukan.

"Hahaha dasar adik bodoh!" tawa Rheon.

"Uhuk! Uhuk! Aku bahagia kakak meski di perlakukan seperti ini, asalkan orang yang melakukan itu kau. Asalkan kau bahagia, mati pun aku rela," ucap Rhea sambil sesekali terbatuk.

"Buktikan padaku!" seringai Rheon sambil mengambil sebilah pisau dapur.

"Tentu," ucap Rhea seraya tersenyum sambil melangkah maju menusukan diri ke pisau yang kakaknya genggam.

"Rheon! Apa-apaan ini?!" teriak panik seorang pria paruh baya yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Keadaan kian merumit ketika seorang menangkap basah apa yang baru saja kedua kakak beradik itu lakukan. Rheon kemudian mencabut pisau yang menusuk perut adiknya. Sementara Rhea sendiri ambruk bersimbah darah di lantai dapur.

"Haha dia yang gila! Dia yang gila!" tawa Rheon memegangi kepalanya dengan tangan yang berlumuran darah.

"Kau! Kau sama gila dengan pria brengsek yang meninggalkan kakak dan kalian berdua! Aku sebagai paman kalian tak habis pikir bahwa kau bisa berbuat hal seperti ini!" ucap paman Rheon sambil memapah kepala Rhea dan kemudian menghubungi ambulance.

"Kau psikopat kecil! Kau mencoba membunuh adik mu sendiri?! Apa akal sehat mu sudah hilang?!" tanya paman Rheon lagi.

"Hahahahaha kau tau apa tentang kami berdua?! Bukan hanya aku yang gila disini, dia pun sama tidak warasnya dengan ku!" kilah Rheon sambil mengancam pamannya dengan pisau yang masih ia genggam.

"Kau akan mendekam di penjara untuk hal ini! Tidak ada kata maaf untuk mu!" balas paman Rheon tak gentar.

Tangan Rheon gemetar. Pisau dapur yang berlumuran darah itu jatuh begitu saja dari genggaman Rheon. Rheon terduduk di lantai meremas rambutnya kuat-kuat seolah merasa depresi.

"Tidak! Kau tidak bisa! Kau tidak bisa memisahkan kami! Aku kakaknya! Dia butuh aku! Aku adalah satu-satunya orang yang pantas bersamanya! Kau yang seharusnya pergi!" gumam Rheon mulai hilang kendali.

Pamannya segera melumpuhkan Rheon sebelum dia kembali mengambil pisau dapur yang telah jatuh dan mulai menyerangnya. Rheon masih meracau tak karuan, terus mengumpat kata-kata kasar dan betapa ia dan adiknya tak dapat di pisahkan hingga mobil polisi membawanya dan ambulance membawa Rhea yang terluka.

****

"Kakak, aku butuh kau.......," ucap Rhea lirih masih terus menerus mengiris lengan kirinya.

Rhea lalu bangkit dan berjalan gontai menuju beranda kamarnya. Terdengar suara ketukan pintu kamar Rhea yang tak ia hiraukan. Ketukan itu berubah menjadi semakin keras karena sang pemilik nama yang tinggal di dalam kamar itu tak kunjung menyahut.

"Rhea buka pintunya! Aku mohon buka pintunya!" pinta suara dari balik pintu.

Rhea membuka pintu kaca beranda di kamarnya. Saat pintu kamarnya berhasil di dobrak, dengan senyuman penuh arti ia berkata.

"Aku akan mati seperti permintaan kakak. Tanpa dia, aku tidak bisa apa-apa. Itu semua salah mu, paman. Itu semua salah mu karena membuat ia mendekam di penjara. Itu semua salah mu karena telah memisahkan kami," ucap Rhea kemudian melompat terjun dari kamar tempat ia berada yang berada di sebuah apartemen setinggi lima lantai.

Paman Rhea segera berlari menuju beranda berharap dapat menyelamatkan keponakannya itu. Namun sayang sama seperti nasib tragis ibunya, Rhea telah tewas dengan kepala yang menghantam aspal hingga pecah mengeluarkan isi di dalamnya. Paman Rhea tak mampu berkata-kata lagi. Rasa cinta sepasang kakak beradik itu sudah terlalu gila hingga mereka bisa berbuat hal semacam ini. Sang kakak yang tega membunuh adiknya dan adiknya yang rela mati untuk sang kakak. Cinta itu memang tak dapat di jelaskan oleh akal sehat, hanya kegilaan lah yang dapat menerima hal itu dengan suka rela.

-END

Short StoryWhere stories live. Discover now