SIMETRIS

8 1 0
                                    

Aku menggenggam erat sendok yang berada di tangan kananku. Aku sudah bertekad untuk melakukan ini sejak lama. Dan hal ini harus segera ku tuntaskan. Aku tak bisa lebih gila lagi dari ini. Tatapan itu terus mengganggu ku dan membuat ku semakin gila setiap harinya. Oh Tuhan! Aku benar-benar membenci hal ini.

Semua yang ku lakukan sudah sempurna. Segalanya di rumah ini dan tempat kerja ku tak pernah luput dari pandangan ku. Tapi kenapa justru masalah ini muncul pada diriku sendiri?
Oh ini benar-benar membuat ku hilang akal.

Aku sudah mengaturnya setiap inchi dari rumah ku maupun meja kantor tempat ku bekerja haruslah sama! Baik setiap sisinya haruslah sama! Dan itu sebuah keharusan dalam hidupku.

Kadang kalau aku memang mendapat banyak kesulitan seperti saat tidur bersama seseorang di tempat tidur yang sama dengan ku. Bisakah mereka tetap berada disisi mereka? Dan aku akan tetap disisi ku. Tapi siapa peduli mereka tak pernah tinggal lama. Atau saat aku memilih bahan makanan, ya memang membutuhkan banyak waktu dan orang-orang kadang kesal dengan tingkah ku. Oh ayolah! Aku hanya ingin membuat hidup ku lebih nyaman untuk diriku dan apa itu salah?

Ku tatap cermin yang ada di hadapan ku. Oh lihat betapa menjijikannya itu. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Jadi lakukan sekarang atau tidak sama sekali. Ku angkat sendok itu setinggi mata kiri ku. Ini akan segera berakhir!

Ku paksakan mata kiri ku tetap terbuka saat aku perlahan-lahan memasukan sendok itu ke mata ku. Rasanya sakit tapi tidak terlalu buruk. Tangan kiri ku yang menahan kelopak mata ku sedikit gemetar begitu juga tangan kanan ku yang tengah berusaha mengeluarkan benda sialan itu dari lubangnya.

Napas ku terengah-engah. Sial kenapa tidak mau keluar juga?! Saat aku masih terus mencoba memasukan sendok itu lebih dalam lagi. Darah keluar dari mata kiri ku hingga membasahi wajah ku. Aku menarik napas panjang. Dalam sekali gerakan aku harus bisa mengakhiri ini. Dan ku keluarkan semua keberanian ku dengan mengabaikan rasa sakit yang kini benar-benar menyiksa ku.

Ku congkel paksa bola mata ku agar mau keluar dan hasilnya dengan rasa sakit yang mendera seluruh kepala ku benda itu akhirnya keluar juga dan menjuntai di pipi ku. Oh sial ini rasanya benar-benar sakit.

Dengan tangan yang gemetaran dan berlumuran darah aku berfikir dengan cepat untuk mencari sesuatu agar bola mata ku yang menggantung ini segera terlepas. Aku membuka kotak obat dan menekan sebuah gunting kecil.

Percobaan pertama untuk memotong saraf dari bola mata ku sedikit gagal karena gunting yang ku gunakan tak cukup tajam namun tetap ku paksakan hingga akhirnya terputus juga. Aku sedikit terkekeh senang di balik rasa sakit yang tengah ku derita.

Aku kembali menatap cermin dengan wajah yang berlumuran darah dan sisa urat saraf yang masih menjuntai di pipi ku. Aku baru menyadari sesuatu hal mengerikan lainnya.

"Ini tidak sempurna!" maki ku sambil meninju cermin di hadapan ku hingga retak dan pecah

Aku mengambil napas panjang. Ini akan lebih mudah. Ya aku baru saja melakukannya. Aku akan mencongkel mata ku yang satunya dan ini akan menjadi sempurna setelah ku singkirkan benda menjijikan itu.

Ini tidak berjalan begitu mulus seperti saat aku melakukannya dengan mata kiri ku. Darah yang berada di wajah ku membuat tangan ku sedikit licin dan cukup sulit memaksakan mata kanan ku untuk terbuka. Tangan ku pun terus gemetaran dan rasa sakitnya bertambah buruk.

Tapi aku berhasil melakukannya! Dan kini aku harus mencari gunting kecil tadi untuk memotong urat sarafnya kembali. Ini sulit! Dan aku mulai putus asa. Tanpa sengaja aku meraba pecahan cermin yang ku tinju tadi. Jadi ku gunakan pecahan cermin itu untuk mengirisnya.

Napas ku semakin memburu dengan rasa sakit yang benar-benar sangat menyiksa. Aku telah kehilangan banyak darah. Tapi tidak ada yang lebih baik dari ini. Aku tak pernah sesenang ini. Menjadi seorang pengidap heterochromia sekaligus penderita OCD benar-benar menyiksa ku dan itu adalah sebuah kutukan. Dan kini aku benar-benar bebas dari keduanya.

END

Short StoryWhere stories live. Discover now