Cerita Sebuah Lukisan Tua

24 5 6
                                    

Tinggal di Wina tidak pernah aku bayangkan. Ketika aku ditunjuk oleh kampusku untuk mengikuti program pertukaran pelajar di the University of Vienna, aku sangat kaget. Austria tidak masuk dalam list negara yang ingin aku kunjungi.

"Fateema, jalan-jalan yuk," Marlene, teman sekamarku, menarik selimut yang membalut rapat tubuhku.

"Malas, ah. Aku mau tidur saja."

Gadis asli Austria itu menarikku dari ranjang.

"Ayolah, Nona cantik. Kamu jauh-jauh dari Turki ke sini bukan untuk tidur-tiduran saja. Cepat ganti baju. Aku akan menunjukkan kota Wina padamu," tukasnya.

Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur. Ku pakai jaket dan tak lupa ku lilitkan sebuah syal di leherku untuk menahan dingin.

Seperti layaknya seorang guide profesional. Menunjukkkan tempat-tempat menarik di ibukota Austria itu.

Kami menyusuri sungai Danube yang indah dan mampir di Museum of Vienna.

Di salah satu sudut museum, aku melihat lukisan Kara Mustafa Pasha, Komandan pasukan muslim yang mengalami kekalahan saat berusaha menaklukkan Wina.

Karena aku berasal dari negara yang sama dengannya, hatiku terasa pedih melihat lukisan itu.

Marlene menarik tanganku. Ia mengeluh cacing-cacing dalam perutnya sudah mulai berunjuk rasa.

Kami memasuki sebuah cafe tak jauh dari museum. Beberapa orang heran melihat gadis berhijab sepertiku. Aku duduk dan membiarkan Marlene memesan makanan.

"Nih, Croissant terenak di kota ini," Ia menyorongkan piring berisi sebuah roti berbentuk bulan sabit dengan toping krim dan buah strawberry segar mengelilinginya.

Hatiku kecut. Aku tidak ingin makan Croissant. Siapapun tahu bahwa makanan ini dibuat untuk merayakan kekalahan Kara Mustafa Pasha.

Tentang Rasaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن