Bab 6 - Panik

508 17 0
                                    

Ambisi itu diperlukan, karena tanpa ambisi kau hanyalah seuntai benang yang tak berdaya

-Rahma Anggraeni-

[]

Sela berjalan meninggalkan perpustakaan dengan gontai. Ia mengurungkan niatnya untuk tidak ikut jam pelajaran pertamanya. Sela melangkah masuk ke kelasnya.

"Gak jadi cabut lo? Teladan kali," goda Rahma sambil mengemut permen kopi kesukaannya. Nicole yang sedang menenggelamkan kepala di lipatan tangannya itu tak kunjung bangun.

"Haha, gak deh. Tumben Nicole molor di kelas,"

"Iya ini anak katanya semalem kagak tidur,"

Sela yang merapikan buku-bukunya pun masih mengikuti pembicaraan. "Emang dia ngapain?"

"Biasa, nonton drama korea katanya,"

Sela hanya mengangguk-angguk dan membuat huruf O pada mulutnya. Ia  mengeluarkan sebuah novel dari tasnya dan membaca nya dengan tenang. Rahma yang tadinya diam pun menjadi ribut dan menyenggol-nyenggol tangan Sela sehingga ia terpecah konsentrasinya dalam membaca.

"Apa sih Rah-" sebelum menyelesaikan perkataannya. Ia melihat kerumunan siswa dan siswi yang ribut diluar kelasnya. Karena penasaran akhirnya Sela langsung menarik Rahma keluar kelas untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Ada apa?" tanya Rahma kepada salah satu murid yang juga memperhatikan kerumunan itu.

"Gak tau kak, ada yang pingsan itu siapa aku juga gak tau," jelasnya. Sela membelalakkan matanya begitu mendengar itu karena ia tau pasti yang pingsan adalah, Satria.

"Permisi, itu yang pingsan siapa ya?" tanya Sela yang menyusup kedalam kerumunan kepada seorang lelaki yabg berdiri tak jauh dari kerumunan.

"Gak tau siapa katanya murid baru, katanya dia tiba-tiba jatuh gitu sih waktu tadi jalan." Jelas si lelaki dengan raut wajah bingung. Sela membelalakkan matanya dan menghampiri kerumunan tersebut. Dan benar, wajah yang sedang terpejam tenang itu adalah sosok yang ia benci sebelumnya. Ya, Ade Satria. Cowok yang baru saja ia tanamkan perasaannya. Cowok yang baru saja membuat ia kesal di pagi hari. Cowok yang kemarin menjenguknya saat demam. Cowok yang baru saja ia kenal namun sudah memberikan banyak hal. Kali ini Sela hanya memandanginya dengan tatapan kosong. Dan ia segera berlari menuju UKS, tempat dimana Satria ditempatkan.

"Biar gue yang jaga," kata Sela kepada kerumunan yang menggendong Satria tadi. Akhirnya, hanya dua remaja yang menduduki sunyinya ruangan UKS. Yang satu duduk termenung, dan yang satu tertidur dengan tenang.

"Lo sebenarnya sakit apa, Sat." Ucap Sela lirih sambil merapikan rambut Satria yang menutupi matanya. Sela berdiri dan mengambil minyak kayu putih. Ia kembali duduk disebelah Satria dan mengambil minyak kayu putih di jari telunjuknya dan mendekatkannya ke hidung Satria.

Tiba-tiba Satria membuka matanya perlahan. Yang ia lihat hanyalah langit-langit putih dan siluet seorang perempuan.

"Sat, lo gak papa kan? Sat ini gue, Sela." Samar-samar Satria mendengar suara perempuan disebelahnya itu. Satria tersenyum kepada perempuan itu.

"Gue pingsan lo heboh banget, emang radio." Ledek nya. Sela yang sudah berkaca-kaca itupun memukul dada Satria.

"Bodoh! Gue khawatir tau gak sih!" ucapnya lirih sambil menunjukkan matanya yang mungkin akan meneteskan airmatanya.

Satria termangu melihat gadis didepannya ini membentaknya. "Lo.." Satria mengusap airmata Sela dengan jemarinya. "Lo, jangan nangis. Kalo lo nangis, lo jelek lho." Hibur Satria yang masih terdengar ketus. Sela memegang tangan Satria yang tengah mengusap airmatanya itu. "Liat lo digotong gitu kaki gue langsung gemeteran buat jalan tau gak! Lo emang ngeselin!"

Satria terkekeh melihat Sela membentak-bentaknya setengah mati. "Udah ah, berisik."

"Iihh! Lo emang hobi banget judesin gue, jahat lo."

"Mau lo gimana?" ucap Satria sambil menjitak kepala Sela.

Sela memberanikan membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu hal. "Lo kenapa?"

Satria yang tadinya tertawa pun menjadi diam. "Ah nggak, ini gue cuma kurang tidur aja." Sanggahnya tenang.

"Tadi pagi lo bilang kalo lo sakit. Lo sakit apa?"

Satria memejamkan matanya dan menghela nafas. "Gak papa," Bohong lagi. Satria berbohong lagi.

"Lo sakit apa sih? Gue penasar-"

"Demam." Jawab Satria ketus. Sela kembali terdiam.

Sela menempelkan tangannya ke dahi Satria. Ia mengernyitkan dahi. "Lo gak panas kok, plis deh. Lo gak usah bohongin gue."

Satria menghela nafas lagi. Kali ini nafasnya benar-benar terdengar berat. "Cerewet! Emang lo siapa gue? Gitu amat mau tau. Gue sakit ya bia-"

"Gue emang bukan siapa-siapa lo. Gue peduli karena.."

"Apa?"

Sela menggertakkan giginya dan terlihat bibirnya gemetar. "Gue suka.." Satria dengan cepat menutup mulut Sela dengan tangannya.

"Jangan lanjutin."

Sela melepas tangan Satria yang membungkam mulutnya itu. "Gue suka sama lo! Apa? Gak mau denger? Percuma! Gue udah ngomong, gue dah ngaku kalo gue-"

Satria menarik Sela kedalam pelukannya. "Lo emang bener-bener berisik, Sela Febrianti."

"Kan lo ngeledek gue lagi, Ih!" gerutu Sela sambil memukul-mukul dada Satria.

"Sakit anjir, lo kan emang suka gue ledek. Yaudah, lo berisik. Dasar radio,"

Akhirnya mereka tertawa bersama, mengisi kesunyian ruang UKS. Sayup-sayup angin yang mengibas gorden putih itu tak lagi terdengar. Hanya tawa mereka yang memenuhi ruangan itu.

Dibalik tawa mereka yang menggema ruangan, terdapat sosok Ryan yang mengintip mereka berdua sedari tadi. Ia menatap kedua sosok itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Padahal gue lebih lama disisi lo, Sela."

[]

MomentsKde žijí příběhy. Začni objevovat