Bagian 1 - Desa Sidojaya (1996)

688 62 27
                                    

Tahun 1996

Bayangan gelap menutupi setiap sisi langit desa ini. Beberapa gumul awan kelabu juga sudah siap menghujam bumi dengan airnya. Suara hewan malam bernyanyi ria bersatu padu menyambut hujan yang sebentar lagi turun.

Angin dingin menghembus pelan melewati celah dinding kayu rumah joglo besar itu. Setiap sentuhan udara dingin tersebut mampu membuat setiap insan bergidik ringan. Tak terkecuali seorang pria dewasa dengan pakaian gamis ombrong serta sorban putih yang melingkar di kepala.

Sejak selesai menunaikan ibadah Isya tadi, pria itu lanjut membaca Al Qur'an dengan lantunan nada-nada lembut. Rapalannya yang merdu dapat didengar oleh dua orang yang kini mungkin sudah tidur di kamarnya masing-masing.

Suasana malam yang tenang dan damai. Bulan sabit bersinar tak begitu terang, mendung hitam tipis mulai menjejaki langit atas kepala. Hewan malam semakin merdu menyanyi menyambut musim hujan, tak terkecuali rongrongan kodok yang menggema bersahutan. Malam yang ramai tapi menyejukan hati.

Namun, semuanya berubah saat suara derap puluhan pasang kaki, serta bisikan-bisikan ramai terdengar dari luar rumah. Suaranya semakin mendekat.

Pria bersorban itu menyudahi bacaannya. Ia berdiri dan berjalan perlahan menuju ke dinding kayu. Matanya kemudian mencoba menelisik ke luar lewat celah-celah kecil. Dari jauh dan semakin mendekat, terlihat puluhan manusia dengan obor di tangan mereka masing-masing. Tak ada yang asing dari wajah dan penampilan mereka, ya itu adalah tetangganya.

Pria itu lalu tertegun dan mencoba mencari tahu ada apa gerangan. Kenapa malam hikmat seperti ini harus ternodai karena kegaduhan mereka. Ia kemudian melangkah pergi membangungkan istri dan anak laki-lakinya yang berumur sepuluh tahunan. Ia takut kalau ini ada urusan dengan keluarganya.

Setelah agak lama, suara percakapan yang terdengar ramai akhirnya sampai juga ditujuan. Puluhan warga itu berhenti tepat di beranda rumah Joglo 'magrong-magrong' dengan cat hijau di dinding kayunya tersebut. Dari luar tampak besar dan berbeda dengan rumah warga lain.

"Pak Joyo!" Teriak salah seorang Pria dewasa dengan wajah penuh amarah. Bambu obor yang dipegang di tangan kirinya seakan juga menggambarkan emosinya yang meluap dan berkobar tak beraturan.

Seorang Pria dewasa dengan pakaian gamis membuka pintu. Tepat di belakangnya dua orang yang tentu saja istri dan anaknya. Pria bersoban menatap pulahan warga yang merupakan tetangganya satu persatu. Mereka semua menatapnya tajam dengan raut muka tak bersahabat seperti biasanya.

"Ada apa toh pak, buk, malam-malam gini datang ramai-ramai? Apa ada yang kemalingan?" tanya pak Joyo berusaha berbasa-basi. Namun, sepertinya mereka tak peduli dengan hal itu.

"Halah, tidak usah berlagak ora ngerti! Pak Joyo kan yang memelihara tuyul untuk mencuri uang kami!" teriak seorang Pria dengan bersungut-sungut. Dia berdiri tak jauh dari muka pak Joyo. Tatapan matanya lebih tajam daripada yang lainnya. Wajahnya yang berkulit gelap seakan menambah kesan garang bagi pria itu.

Pak Joyo menghela napas menenangkan diri sambil mengelus dadanya.

"Astaghfirullah, demi Allah, Pak Rudi, demi Allah. Suami ku tidak memelihara tuyul seperti yang kamu tuduhkan," jelas istri Pak Joyo membela diri. Ia tampak syok mendengar tuduhan tanpa dasar yang jelas ini. Bagai disambar petir di siang bolong, kata orang-orang.

"Halah! Nggak usah mengelak lagi, yu Tiyem! Wong sudah jelas kok." Kali ini seorang ibu-ibu berbadan tambun menimpali, dia istrinya pak Rudi.

"Jelas apanya!?" Istri Pak Joyo tak mengerti.

"Banyak uang warga yang hilang dicuri sejak kemarin. Kata mbah dukun Slamet, duit kami digondol tuyul! Trus, rumah e sampeyan sendiri seng katon magrong-magrong," jelas wanita itu bersungut-sungut.

Mereka menuduh pak Joyo sekeluarga memelihara tuyul dengan alasan rumahnya yang besar. Aneh, bukan?

Pak Joyo dan istrinya terdiam, bibirnya kelu menerima setiap tuduhan aneh ini. Mereka sepertinya tengah difitnah oleh seseorang. Namun, untuk apa?

"Ayo kita bakar saja rumah ini!" teriak Rudi. Pria itu kemudian melempar obornya tepat ke arah Pak Joyo. Seketika, pria tersebut terjatuh.

Dengan beramai-ramai, satu persatu obor dilemparkan ke arah rumah pak Joyo. Istri dan anak pak Joyo kalang kabut, mereka kemudian berlari menghindari serbuan api obor itu. Sementara itu, pak Joyo yang tak berdaya kemudian diseret menjauhi rumah itu dan bahkan malam yang dingin ini tak dapat menceritakan semuanya. Hanya isak tangis dari istri Pak Joyo serta anak laki-lakinya yang menggema di malam itu. Meninggalkan sebuah duka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pak Joyo, yang tak mengerti apa-apa harus tertidur untuk waktu yang lebih lama, dan abadi.

Mendung telah menutupi bumi. Rinai hujan perlahan mulai membasahinya bersamaan dengan jerit tangis kedua insan yang kini harus menelan pil pahit. Kehilangan dua hal yang sangat berharga dalam hidup mereka secara bersamaan. Tangis mereka meraung-raung memecah hening malam itu. Semakin lama, hujan menelan suara mereka.

Tanpa mereka sadari, segurat senyum dari salah satu warga memberikan arti tak pasti yang kan menghantarkan kebenarannya.

Namun, akibat tragedi itu pula sebuah dendam menjadi alasan dibalik tragedi-tragedi selanjutnya. Apakah akan dendam itu akan lenyap dimakan waktu, atau malah abadi selamanya di dunia fana ini? Menjadi misteri.

****

Silakan beri kritik dan saran Anda ^_^

Blitar, 8 April 2018

The Sacred House [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang