Bagian 2 - Tragedi Tahun 1998

1.3K 81 26
                                    


Saat ini, tahun 2015.

Koran keluaran tahun 1998.

Seorang pria pengusaha di sebuah desa bernama Sidojaya dilaporkan tewas mengenaskan. Dikabarkan, meninggalnya akibat terjatuh dari lantai dua bangunan tempat dia berbisnis. Menurut penyelidikan polisi, pria malang tersebut melakukan bunuh diri dengan cara meloncat dari lantai dua hingga akhirnya tewas.

Namun, warga sekitar sepertinya tidak percaya dengan alasan bunuh diri itu. Mereka menyakini bahwa pengusaha bisnis haram itu telah dibunuh oleh arwah Mbah Joyo yang merasa terganggu dengan kebisingan diskotik.

...

***

Seorang remaja berlari dengan tergesa gesa. Ia tak menghiraukan kalau ruangan ini terlalu ramai dengan benda-benda perabot. Yang pasti, ia harus segera sampai di ruang tamu.

Di tangannya tergegam sebuah kertas usang yang tergulung. Matanya berbinar bak telah menemukan harta karun berupa emas sepeti penuh.

"Oe! Coba lihat ini! Coba tebak apa yang sudah kutemukan!?"

Keempat remaja yang duduk santai mengelilingi meja, menatap remaja enerjik itu dengan tatapan aneh. Ya, aneh. Melihat dia memegang sebuah kertas usang yang digulung entah apa itu isinya. Wajahnya menyeringai sambil menatap mata mereka bergantian.

"Apaan itu, Wan?" Bayu, remaja paling tambun angkat bicara. Sementara Wawan tetap mempertahankan senyumnya dengan bangga.

"Ditakoni kok malah mesem," hardik Rio dengan bahasa Jawa Timuran yang kental. Ia menyilangkan tangannya di depan dada. (Ditanya kok malah senyum saja)

"Iya nih," sahut Ratih masih dengan tatapan heran. Gadis itu sesekali membenahi rambutnya yang tersapu angin dari luar.

"Santai guys!" ucap Wawan sembari menarik kursi di samping Rio dan duduk. "Aku baru saja menemukan sebuah benda yang sangat berharga, benda yang nantinya bakal membuat kita tak dihukum oleh pak Budi!" Jelas Wawan dengan senangnya. Tubuhnya yang cenderung krempeng tapi tinggi tampak kontras dengan sikapnya yang besar.

"Beneran?" Sari yang sejak tadi diam kini ikutan unjuk suara sambil membenarkan kacamatanya.

"Yaps," ucap Wawan lagi dan tersenyum lebar ke arah Sari.

"Halah, mbelgedes, palingan juga HOAX!" jelas Rio dengan nada tak percaya.

"Wes, sakarepmu! Yang lebih penting kalian mau ikutan kan?" Tanya Wawan tiba-tiba membuat keempat temannya kembali dibuat bingung.

"Ikut kemana, Wan? Dari tadi kan kamu belum memberi tahu semuanya, cuman datang-datang dari gudang Kakungmu trus kesini dengan wajah sumringah kaya orang mulai gila." Ratih menghela napas tenang, menyadarkan Wawan yang terlalu bersemangat.

Wawan menepuk jidatnya sendiri dengan kasar. Saking senangnya ia sampai lupa kalau belum menunjukan isi kertas yang ditemukannya tadi. Bergegas ia membeber kertas itu ke atas meja. Mengganjalnya di setiap sisi agar tak menggulung.

"Nah, kesiniloh tujuan kita untuk mengisi tugas liburan dari pak Budi." Jari telunjuk Wawan mengarah ke sebuah artikel di koran itu. Tajuknya tertulis dengan bahasa Indonesia yang tintanya mulai pudar akibat debu dan usia.

"MISTERI KEMATIAN SEORANG PENGUSAHA BISNIS PROSTISTUSI DESA SIDOJAYA," ucap mereka berempat secara serempak sementara Wawan melipat tangannya ke dada sambil terus tersenyum.

Setelah selesai membaca tajuk di koran itu, mereka terdiam. Entahlah, mungkin masih bingung ingin menanggapi apa. Membaca nama desa yang dimaksud itu saja sudah membuat bulu kuduk mereka berdiri. Bagaimana tidak, sejarah kelam desa 'mati' tersebut membuat sebagian orang enggan untuk membicarakannya apalagi mendatanginya. Banyak mitos yang beredar di tengah masyarakat tentang keangkeran desa Sidojaya itu.

The Sacred House [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang