Bagian 4 - Kacau

428 40 28
                                    


Secercah cahaya perlahan menerobos masuk ke mata. Bersamaan dengan hal itu, terasa sebuah goyangan kecil yang mulai menyadarkan dirinya. Agak tak terlalu jelas, ia bisa melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak di depan.

"Wan, oe! Bangun!" Ucap Rio terdengar samar-samar dan hanya berdengung di telinga Wawan.

Remaja jangkung itu berusaha membuka kelopak matanya yang masih lengket. Tubuhnya terasa lesu untuk diajak bergerak cepat. Perlahan tapi pasti, ia dapat melihat keempat temannya tengah duduk berjejer di kanan-kirinya.

"Di mana kita?" tanya Wawan lirih sembari menyenderkan tubuhnya ke dinding bercat putih pucat di belakang. Tangannya berusaha mengucek mata yang terasa perih.

"Tidak tahu. Saat bangun, tiba-tiba kita sudah ada di ruangan ini," terang Ratih sedikit gemetar. Sorot matanya jelas menunjukan ketakutan yang tetap berusaha disembunyikan.

Saat tersadar, mereka sudah berada di dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar ini. Ruangannya kosong tak berisi benda perabot apapun. Yang tersisa hanya berserakan beberapa kayu dan bohlam lampu yang menggantung di atas. Andai saja tak ada cahaya senter, mungkin hanya gelap yang tampak di pelupuk mata.

Wawan mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Namun, semakin keras ia mencoba mengingatnya, semakin pening kepala dan jawaban seakan enggan untuk memihak. Akan tetapi, setidaknya Wawan masih ingat sedikit kejadian yang berlangsung begitu cepat sebelum kemudian menjadi gelap gulita.

"Sialan! Siapa sih yang menyekap kita di sini? Setahuku hantu tak akan bisa menangkap manusia, 'kan!?" gerutu Bayu geram mencoba realistis dan spontan memecah hening. Ia kemudian berdiri dan mengarahkan senter ke segala arah, menyapu setiap gelap agar menjadi terang sesaat.

Mendengar ucapan Bayu, Wawan tiba-tiba mengingat sesuatu. Hantu, tidak! bukan hantu yang menangkap mereka. Lamat-lamat ia dapat mengingatnya, bayangan hitam seperti manusia dengan jubah melayang dan seseorang berdiri di hadapan dengan seringai lebar penuh tanda tanya. Dia adalah ....

"Wanita tua!!!" teriak Wawan tiba-tiba membuat keempat temannya terkejut. Napasnya tersengal-sengal dan kembali matanya menatap satu persatu temannya. Cekatan ia berusaha berdiri namun berkat tubuhnya yang masih lunglai ia kembali terduduk.

Sorot mata heran langsung menangkap gerik Wawan.

"Ada apa dengan wanita tua, Wan?" tanya Ratih menyahut, jantungnya ikut berdebar kencang.

"Ya, benar! Aku memang melihatnya!" ucap Wawan lagi masih meninggalkan rasa penasaran di benak temannya.

"Apa sih, Wan? Kalau ngomong itu yang jelas dong!" sargah Ratih lagi sangat penasaran dan takut.

"Sebelum pingsan, aku melihatnya! Ya, dia adalah sosok wanita tua yang tengah menyeringai ke arahku! Mungkinkah dia dalang di balik semua ini?" jelas Wawan dengan perasaan yang campur aduk, di satu sisi ia merasa senang, tapi di sisi lainnya ia juga merasa takut.

Ia yakin dan masih tersimpan dalam memori otaknya terakhir kali sebelum dirinya pingsan sepenuhnya. Tubuhnya didekap oleh sosok seperti penggambaran malaikat maut berjubah hitam, berkepala tengkorak dan mata api menyala. Namun, yang paling mencolok ada seorang wanita tua yang berada di sana sambil menyeringai lebar. Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu, tapi sayangnya Wawan tak bisa membaca gerak bibir.

Ratih mengkerutkan dahi, ia masih bingung dengan yang dikatakan Wawan, dan mungkin yang lainnya juga masih bingung. Wanita tua, siapa dia?

"Baiklah, kita tak perlu berlama-lama di tempat ini! Kita harus segera keluar dari sini!" ucap Wawan tiba-tiba sangat bersemangat. Ia bergegas berdiri dan berjalan mengarah ke pintu yang terkunci rapat itu. Dengan kasar ia mendobrak pintu tersebut, tapi pintu itu tetap bergeming. Terlalu kuat.

"Minggir, Wan." Rio yang memiliki postur tubuh lebih besar mencoba mendobrak pintu itu. Tapi, hasilnya tetap sama. Pintunya sangat kokoh seperti terbuat dari besi.

"Ah sialan! Kuat sekali pintu ini!" gerutu Rio. Ia terus mencoba menabrakan tubuhnya ke pintu kayu tersebut meski tak ada perubahan hasil.

Hingga, tiba-tiba serbuan angin dingin menusuk tubuh terasa begitu mencekat. Hawa tak mengenakan juga terasa begitu mengganggu. Bersamaan dengan itu, bebauan anyir dan busuk menjadi perpaduan yang menyiksa indra penciuman.

"Sopo seng kentut sembarangan!?" —(Siapa yang kentut sembarangan!?)— teriak Rio dengan nada kesal. Ia menghentikan aktivitasnya dan melihat ke belakang.

Deg ...

"Bangke!" Rio diam terpaku dengan mata melotot tak berkedip dan mulut menganga. Wawan, Ratih, Bayu dan Sari kaget melihat ekspresi Rio yang mematung seketika. Ada apa?

"Apaan sih, Rio? Gak lucu tau!" Ratih melotot tajam ke arah Rio, tapi Rio tak memeperdulikan hal itu.

Remaja berbadan besar itu hanya diam, perlahan tangannya mulai bergerak dengan kaku. Dengan tangan yang bergetar ia menunjuk sesuatu di belakang mereka. keempat temannya menoleh ke mana arah Rio menunjuk.

"SETAN!!!" Tanpa aba-aba kelimanya berteriak dengan lantang dan  bersamaan. Bagaimana tidak, sosok yang tak diundang tiba-tiba bergabung di antara mereka. Tersenyum menyeringai menampakan gigi-gigi runcing nan tajam dan wajah hancur berwarna hitam serta mata berdarah yang hampir copot. Ia terbungkus rapi di kafan yang sudah lusuh dan kotor karena tanah.

Entah kekuatan dari mana. Pintu kayu yang sedari tadi tak dapat di hancurkan, kini sudah jebol berantakan. Berdesakan kelima remaja itu berlarian ke segala arah bak kumpulan semut yang kejatuhan daun. Bingung ingin menyelamatkan diri masing-masing.

Sementara, sosok itu tetap berdiri, sembari memasang seringai lebar. Pocong sialan.

***

Hai teman-teman. Jangan lupa untuk masukan cerita The Sacred House ini ke Perpustakan kalian ya, untuk mendapatkan informasi update lebih cepat dan dapat dibaca saat offline.

See you next part 😂

(Revisi) Kamis, 9 Agustus 2018

The Sacred House [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang