Bagian 3 - Tak Terduga

671 58 19
                                    


Tiga kendaraan beroda dua melaju santai melewati jalan makadam yang cukup rusak dan licin. Sesekali salah satu dari ketiga motor bebek itu hampir terjerembab karena sulitnya jalan. Namun, setelah hampir setengah jam mereka berjuang melewatinya, akhirnya sampai juga di depan gapura selamat datang.

'Selamat Datang di Desa Sidojaya'

Tulisan berlumut itu terpampang jelas di atas papan melengkung gapura.

Kelima sahabat tadi kemudian turun dari kendaraan. Lalu Wawan, Bayu dan Rio memakirkan motornya masing-masing ke gardu rusak di samping gapura.

Tempatnya sepi, singklu[¹] orang jawa bilang. Ditambah lagi dengan aura menyeramkan yang langsung menyambut kelimanya. Deretan bangunan rumah bergaya joglo yang berjajar di kanan kiri jalan utama tampak rusak. Hanya ada beberapa saja rumah yang masih terlihat bagus dari sisi luar.
([¹] Sepi sekali)

"Kok dingin ya, padahal matahari sudah hampir meninggi," gumam Bayu yang kontan membuat keempat temannya menoleh ke arah dia.

"Wong hangat kayak gini kok dibilang dingin," sahut Rio dengan nada dingin bahkan mungkin melebihi dingin yang dirasakan oleh Bayu.

Bayu menghela napas gusar dan menyipitkan matanya kesal. Namun, rasa dingin kian membekukan tubuhnya. Ia kemudian mencoba saling menggosokan kedua telapak tangannya, berharap agar tubuhnya terasa lebih hangat. Tapi tampaknya tak terlalu berpengaruh.

Wawan, Ratih, Rio, Sari dan Bayu berjalan santai menelusuri jalan makadam ini. Tak ada yang istimewa sejak mereka menginjakan kaki di desa Sidojaya. Hanya sensasi aura-aura tak mengenakan saja yang lebih dominan terasa sedikit mengganggu.

Hingga tiba-tiba langkah mereka terhenti. Saling pandang dan lalu menilik ke sekitar. mata mereka mencoba menerawang ke sebuah rumah megah dengan cat putih kusam di ujung jalan. Bangunannya lebih besar dan tak seperti bangunan rumah lainnya yang bergaya joglo sederhana. Bangunan itu lebih mirip seperti sekolahan tapi lebih kecil dengan balkon menghadap ke luar desa. Nyaris seperti desain rumah orang Eropa.

"Wah, inilah tempat kejadian itu terjadi," Wawan bergumam, membuat teman-temannya sedikit bergidik ngeri. "Sar, kamu bawa pulpen dan buku, 'kan?"

Mendengar pertanyaan itu, gadis berambut hitam sebahu yang dipanggil segera menggeledah isi tasnya. Setelah dapat, ia mengeluarkan sebuah pulpen hitam dan buku diary yang masih kosong.

Wawan tersenyum menghadap ke keempat temannya. Sekali lagi ia memandangi satu persatu dari mereka yang masing-masing membawa tas punggung. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkanya dengan kasar.

"Baiklah. Kita akan mencoba memasuki rumah itu sekarang. Dan kamu, Sari. Nanti kamulah yang bakalan menulis semua petualangan yang akan kita lewati," jelas Wawan dengan senyum di akhir kata. "Oh ya, Rio. Kamu bawa senter 'kan?"

Rio sedikit berjingkat, ia kemudian mengeluarkan lima buah senter kecil yang praktis. Rio sebenarnya penasaran dengan benda yang satu ini. Mengapa ia harus membawa senter, sedangkan hari masih terlalu pagi menjelang siang untuk menggunakan penerangan. Ini masih terlalu terang.

"Buat apa Wan senter ini? Toh, kita kan nggak bakal lama di sini." Rio mengalungkan lagi tasnya ke punggung. Wawan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Rio.

"Iya, bener kata Rio, kita nggak bakal lama kan di sini. Lagipula, ini juga masih jam sembilan loh, masih pagi," ucap Ratih menimpali.

"Iya, kalian benar, kita memang tak akan lama di desa ini, tapi...," Wawan tak melanjutkan perkataannya.

"Tapi apa, Wan?"

"Tapi kita tak akan tahu apa yang akan terjadi, bukan?" jelas Wawan, "lebih baik sedia payung sebelum hujan. Mempersiapkan segalanya jika hal buruk datang tiba-tiba."

The Sacred House [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang