Bagian 5 - Teror

144 21 25
                                    


Berhamburan mereka berlari ke luar tanpa arah. Terkejut setelah didatangi sesosok hantu bungkus dengan seringainya yang sangat menyeramkan, kelima remaja itu berusaha menghindar.

Wawan dan Ratih berlari beriringan melewati sebuah lorong yang cukup gelap. Senter yang mereka pegang, cahayanya menyinari secara kilat ke segela arah karena guncangan lari.

Mereka menelusuri lorong yang cukup kecil ini, hingga akhirnya langkah kaki membawa mereka sampai di ujung lorong. Cahaya senter telah menabrak dinding bercat putih sedikit kusam. Ini ujung dari lorong.

"Sial!"

Dengan napas menderu, Wawan mengarahkan pandang ke segala sudut ruangan. Tak ada, memang tak ada celah sedikit pun. Mereka sudah mentok di ujung lorong, tak ada jalan ke luar. Dengan kata lain, mereka malah terjebak di sini? Ceroboh sekali.

"Gimana nih, Wan?" Ratih sangat ketakutan, tubuhnya menggigil dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuh.

Wawan lebih kacau. Napasnya menderu ngos-ngosan tak teratur dan pandangannya juga mengabur. Pikirannya kacau, buntu. "Bayu, Rio, kalian ada ide?"

Tak ada jawaban. Wawan mengedarkan pandang, tak ada siapa-siapa kecuali hanya dirinya dan Ratih saja. Di mana mereka berdua, mengapa sampai bisa terpisah seperti ini? Ceroboh sekali.

Dengan napas memburu, keduanya termenung dalam gelap. Kondisi semakin memburuk ditambah berpisah dengan tiga teman yang lain

***

Bayu dan Rio berlari tak tentu arah, ia melewati beberapa ruangan yang seperti labirin. Terdapat banyak pintu di setiap sisi ruangan hingga akhirnya mereka bingung pilih yang mana. Rasanya seperti hanya berputar-putar saja sejak tadi. Setiap ruangan yang dilewati tampak sama saja satu sama lain.

"Stop! kita istirahat dulu!" Bayu jatuh terduduk. Napasnya berat dan dadanya terasa sesak. Sesekali remaja tambun itu terbatuk hampir muntah.

Rio berhenti, keadaannya sama seperti Bayu. Matanya jelalatan menerawang ke sekitar dengan bantuan cahaya senter. Ia memandang temannya sebentar, Bayu tampak sudah tak berdaya lagi untuk sekedar berdiri.

Remaja berkulit gelap itu akhirnya ikut duduk. Ia bersandar ke dinding sembari mengatur napas agar lebih tenang. Dalam keadaan seperti ini, ia harus tetap fokus. Jangan sampai ketakutan yang menguasai dirinya, atau tak akan bisa keluar dari sini.

"Oh ya, di mana Wawan, Ratih dan Sari?"

Bayu yang ditanya menoleh ke segala arah. Tak ada, itu jawaban pastinya. Mereka hanya berdua sejak si hantu bungkus sialan itu tiba-tiba muncul. Mereka terpisah gara-gara kekalutan tadi.

"Sial," desis Rio. Mereka terduduk di antara gelap sembari menunggu stamina kembali prima.

***

"Ini gawat!!!" ucap Ratih dengan nada getir. Ia berjalan mondar-mandir di depan Wawan yang duduk bersandar di ujung lorong. Pasrah.

Gadis itu terus saja bergumam sembari berjalan mondar-mandir. Raut wajahnya pucat menahan rasa yang campur aduk ini, takut, sedih dan kesal?

"Maaf," ujar Wawan yang berhasil menghentikan langkah Ratih.

Gadis itu menoleh ke arah Wawan yang menunduk lesu. Ia menatap Wawan dengan tatapan tajam. Ia pun menunduk dan duduk bersimpuh di depan Wawan.

Wawan mengangkat kepalanya memperhatikan wajah Ratih yang pucat. Ia tahu kalau gadis itu sedang dilanda kebingungan dan ketakutan. Ini semua karena ulahnya, bukan? Gara-gara dirinya yang terlalu ambisius ingin pergi ke desa terkutuk itu. Sekarang apa yang ditakutkan Sari terwujud. Desa itu benar-benar mengerikan.

The Sacred House [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang