Prolog

80.1K 6.2K 1.4K
                                    

Belakangan ini, aku jadi sedikit lebih puitis. Dan, sarkastis.

Berlembar-lembar tulisanku terjejal dalam rak sampai semua buku harus mengungsi ke lemari pakaian. Jadi, para baju tergusur ke lantai, terlipat berojolan.

Menurut Magenta, aku harus coba mengirim salah satu naskahku ke penerbit; takut ditolak, kataku. Mama bilang, kalau ditolak, ya kirim lagi. Dunia Mama sesimpel itu: kalau mati, ya hidup lagi.

Jangan pesimis, adik laki-lakiku menasihati. Dunianya memang secerah itu.

Jadi, aku melakukannya. Aku optimis, bahkan terkesan takabur, pasti diterima. Setelah mendapat penolakan, kutelisik lagi naskah super indah itu. Typo menari-nari di depan mata, sekian ragam kosakata berubah makna, serentet kalimat rancu luar biasa. Kukeluhkan ini ke adikku.

Dia malah tertawa. "Lah, betulan dikirim!"

Orang-orang kira, Grey itu manis. Cuma aku yang tahu betapa pahitnya dia.

Grey mengambil naskahku dan mengamatinya. Aku yakin dia tidak benar-benar membacanya. Dia disleksia. Membaca bukan keahliannya. Namun, entah asal tebak atau adik lelakiku memang punya ilmu hitam, dia mampu berkomentar, "Klise."

"Cuma idenyanya, kok. Terus plot, karakter, eksekusi ...." Kulempar naskahku ke sudut ruangan. "Oke, imajinasiku macet! Tapi, banyak buku klise yang laku!"

"Kesalahan pengetikan."

"Aku bukannya sengaja mengetik 'wanita itu menyusul anggota geng' jadi 'wanita itu menyusui anggota geng'—huruf l sama i itu tetanggaan!"

Grey mengangkat sebelah alisnya. "Premis ceritanya."

"Kau adikku atau bukan?"

"Justru itu. Angkat tinggi-tinggi terus jatuhin lagi—itu sudah tugas saudara."

Kujatuhkan diri ke atas kasur, membasahi bantal dengan air mata dan air hidung. Aku menolak istilah 'ingus' karena itu jelas-jelas diskriminasi terhadap hidung.

"Ingat, enggak," celoteh Grey. "Dari dulu, kesengsaraan Kak Nila itu asyik, sampai masuk laman depan koran lokal. Jadikan saja itu cerita! Orang suka karakter yang teraniaya sampai ke tulang-tulang. Dari protagonis sampai antagonis—siksa aja semua! Atau, Kakak bisa angkat kehidupannya Kak Magenta. Atau—"

"Atau," potongku, "aku bisa tidur sebentar, mimpi indah, lalu mimpi itu jadi cerita. Maka, kamarku mesti dikosongkan dari berbagai jenis makhluk hidup."

"Termasuk aku?"

"Terutama kamu." Kuusap wajahku dengan jengkel. "Lagi pula, ini gara-gara kamu terus kasih saran 'pakai cerita nyata yang sudah terjadi aja'. Aku kepingin bikin romansa-thriller­­ kehidupan gangster, tapi karena saranmu, aku pakai kasus di koran sebagai pondasi ceritanya—hasilnya bencana! Karakternya gagal tampan, mirip preman pasar, dan premisnya jadi kayak kartel kearifan lokal. Memang kenapa, sih, kalau sekali-sekali aku kepingin mengarang cerita fiksiku sendiri?"

Grey mengangkat bahunya. "Lebih aman kalau sesuatu yang sudah kejadian. Karangan Kak Nila, 'kan, payah. Jadi, mending tulis yang sudah terjadi—"

"Heh, aku dulu ahlinya ngarang." Lalu, aku terdiam sendiri karena sadar betapa salahnya kalimatku terdengar. "Maksudku, dulu aku nulisnya bagus! Sekarang aja yang rada hancur. Pokoknya, keluar kamu, Grey! Aku mau mimpi indah supaya dapat inspirasi!"

Grey membuat suara pfft dari bibirnya dan beranjak. Sebelum menutup pintu kamarku, dia menyempatkan diri untuk berkata, "Jangan lama-lama di sana—maksudku, dalam mimpimu. Boleh saja tersesat sebentar, Kak, tapi jangan lupa pulang kembali."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yang akan kalian temukan di Indigenous:

#teenfiction

#comingofage

#contemporary-fantasy

#angst

#humorous-horror

#darkcomedy

#paranormal

#supernatural

#astral

#higherdimension

#multiverse

#minorromance

#mystery


(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

IndigenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang