Before you read
Please play the song on loop
_________________________________
Imagine this horizon didn't exist
Can you take it that the sky and the sea would never meet?
Imagine this horizon was real
Can you take it that the remarkably-sized land actually has limit?
BANYU MEMANG pada akhirnya suka membaca dan rutin muncul di jam pelajaran bahasa, tetapi aku belum pernah melihat Banyu ikut olahraga. Entah dia tidak punya seragamnya, atau lelaki itu lemah di fisik. Kupikir, kemungkinan kedua lebih mungkin. Dari awal, Banyu memang sudah aneh—suka makan makanan manis, tetapi tetap kurus. Dan, yang dilakukannya sepanjang hari, 'kan, hanya merecokiku. Dia terlalu bawel dan ceriwis untuk ukuran anak laki-laki.
Aku hampir berhenti berlari karena suatu pikiran menghantamku. Kalau dipikir-pikir lagi, Banyu Biru sekarang tidak lagi sekadar berkunjung. Dia muncul di kamarku hampir sepanjang waktu dan ada di kelas hampir di semua jam sekolah. Bahkan saat malam, aku yakin dia masih duduk di atas meja belajarku meski aku sudah tertidur. Kunjungannya tidak lagi sekadar beberapa menit.
"Anila!" Bapak Gading berteriak dari seberang lapangan, lalu meniup peluitnya. "Jangan meleng! Lari! Lari!"
Tepat saat beliau mengatakan itu, seseorang menabrak bahuku dari belakang dengan sangat sangat sangat keterlaluan sangat keras. Badanku bukan hanya jatuh ke depan, tetapi sudah masuk level melayang, melesat jauh sampai wajahku tertanam ke rumput di pinggir lapangan.
Aku menoleh ke belakang dan melihat bahwa aku terpental lumayan jauh. Melintas melewatiku, tertawa-tawa sambil dibuntuti anak laki-laki lainnya, sang tersangka yang membuatku lepas landas: Abu.
Aku mendengar suara cekikikan para perempuan yang awalnya pelan, lalu tak segan-segan mereka menertawakanku karena aku tak kunjung bangun. Air mataku menggenang di pelupuk mata.
"Jangan nangis," bisik seseorang, membuatku menoleh lagi ke depan. Di antara semak-semak, Banyu Biru berjongkok mengamatiku. Ada yang berbeda dari penampilannya, dan aku perlu waktu sedikit lebih lama sampai menyadari bahwa dia memakai seragam olahraga sekolahku, tidak lagi memakai jaket birunya. Bahkan, rambutnya tidak sepanjang biasanya, seolah dia baru memangkasnya. Aku bahkan bisa melihat alisnya yang tajam lurus, membuat tegas ekspresi wajahnya yang biasanya hanya bisa kulihat dari cengiran jail kalemnya. Tatapannya lebih keras, dan rasanya aku baru bisa meyakini kalau Banyu memang laki-laki.
"Malu," kataku. Aku bahkan mengabaikan rasa sakit di sekujur badanku.
"Berdiri," suruhnya tegas, tangannya terulur kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigenous
Fantasy[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin aku jadi temannya. Tiada orang waras ingin berkawan denganku, kubilang, karena aku Anila Jelita. ***...