Bagian III

28.1K 4K 1K
                                    

Why do we care too much for something useless?

How do we get into trouble for some foolishness?

For the sake of nonsense on the edge of abyss, ignorance is bliss

SEKOLAH ADALAH lahan berhantu yang disamarkan oleh paman-paman penjual jajanan di depan pagarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEKOLAH ADALAH lahan berhantu yang disamarkan oleh paman-paman penjual jajanan di depan pagarnya. Pada dasarnya, setiap bangunan sekolah pasti punya legendanya sendiri—bekas bangunan rumah sakit, bekas kuburan, bekas tempat penyiksaan. Semua itu mengendap dan menetap di bawah lapisan tanahnya.

Sekolahku juga punya palang bertuliskan apotek yang tidak bisa dicabut di belakang WC perempuan, dan tepat di seberang jalan ada lahan kuburan. Paman penjual es serut pernah kelepasan bicara kalau lahan kuburan itu sudah dipersempit dan setengah dari makam-makamnya telah dipindahkan ke lahan pemakaman lain yang lebih luas, yang artinya dulu kuburan itu mencakup setidaknya area depan sekolah kami. Cerita horor itu malah berkembang dengan setiap detail yang kejauhan—ruang guru itu kamar mayat, kelas 7 adalah bangsal berhantu, kelas 9 dulunya kuburan zaman penjajahan. Padahal, tidak segitunya juga.

Namun, anak-anak yang terjepit antara usia bocah dan remaja ini malah menjadikannya sarana hiburan—cerita-cerita seram dan beragam jenis penampakan sudah serupa kacang goreng, dijajakan di setiap sudut dan sisi.

Kadang, cerita itulah yang malah menghidupkan dirinya sendiri dari mulut orang-orang yang menyampaikannya, dan para pendengarnya akan menampik habis-habisan dengan logika mereka sebelum akhirnya ikut andil memberi nyawa kepada cerita tersebut. Tak lama setelah legenda ada anak menangis dalam salah satu WC, jumlah anak perempuan yang izin rombongan ke kamar mandi jadi meningkat, dari dua jadi empat, padahal yang benar-benar butuh buang hajat cuma satu. Setelah tersebar cerita seorang penjaga perpustakaan tanpa kepala, tempat itu malah jadi ramai. Jadi, kalau ingin tempat usahamu penuh, tak perlu menyediakan buku atau fasilitas yang muluk-muluk—pajang saja mayat hidup di depan.

Padahal anak dalam WC itu tidak menangis, melainkan tertawa. Dan, pria di perpus itu sebenarnya punya kepala, hanya saja dia menyimpannya di tempat lain.

Namun, tak kukatakan itu semua karena aku sendiri takkan senang kalau ada orang yang membicarakan diriku kepada orang lain tanpa seizinku.

Di antara semua kelas, kelas 8-C memegang rekor cerita seram paling basi, tetapi populer: Nila si anak penyihir. Ya. Itu kelasku. Dan, ya, tokoh utamanya aku.

Alkisah, duduklah seorang anak laki-laki tampan super jail di bangku nomor dua dari belakang. Anak laki-laki itu namanya Abu. Dia digandrungi kaum Hawa mulai dari adik kelas, sebaya, sampai kakak kelas. Semuanya berubah sejak Anila Jelita menyerang. Gadis random ini muncul dan langsung menghuni kursi paling belakang, tepat di belakang Abu. Entah pengaturan kursi saja masih belum cukup membuat gadis malang ini dibenci teman-teman wanita sekelasnya, guru-guru begitu memuja dan memuji Anila Jelita yang selalu mendapat nilai tertinggi. Setiap anak yang dicintai guru entah kenapa selalu menjadi bulan-bulanan kebencian siswa lain—sudah kodratnya. Kalau tidak dibenci, minimal jadi bahan bully-an.

IndigenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang