Bagian VII: 2 tahun kemudian, Nila di bangku SMA

19.5K 3.1K 495
                                    

What's with the desolation?

Can we build in pain?

We've been on this fraction

In the depths of despair to start over and over again

In the depths of despair to start over and over again

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan November dingin luar biasa. Hujan turun tiap pagi sampai siang, lalu turun lagi semalaman. Kutunggu hujan reda di depan kelas sementara anak lainnya sudah menerobos tirai air dengan payung.

Seseorang mendepak tudung jaketku sampai kepalaku ikut tersentak ke depan.

Memang azab berturut-turut pasca ospek. Di tingkat teratas pendidikan wajib pun, di mana seharusnya aku bisa terbebas dari setan penggoda, aku kembali direkatkan dengan Abu. Sialnya, lelaki itu duduk di depanku. Lagi.

Dulu, dia anti bicara padaku dan hanya melayangkan ejekan-ejekan tak langsung yang menyakitkan. Sekarang, Abu telah menaikkan level penyiksaannya. Dia sering berbalik ke belakang untuk mengambili barang-barangku, menanyakan apakah kabarku buruk, atau sekadar menyapa, "Anila Jelekta!"

Nila kecil pasti bodoh sekali bisa sampai naksir cowok macam ini. Aku takkan pernah mengerti bagaimana bisa dulu aku menaruh hati kepada Abu. Sekarang, dia tidak lagi berambut licin. Dia sudah belajar kalau jambul atau rambut berdiri mirip cucuk-cucuk kaktus itu keren, lagaknya seperti jagoan kampung padahal aslinya gemblung, dan sudah tak terhitung berapa kali aku nyaris memuntahi wajahnya.

"Kamu nunggu hujan berhenti? Atau nunggu dijemput pacar khayalan?" tanya Abu sambil menyunggingkan seringai miring. Karena dia tinggi, dia sengaja berdiri dekat denganku supaya bisa menunjukkan bahwa dia mesti menunduk ke bawah buat menatapku. Tambah umur, tambah psikopat.

Aku memasang wajah datar. Walau, pasti enak rasanya kalau bisa mendongak mendadak dan menghajar dagunya pakai kepala.

Sabar, Nila. Kupejamkan mataku dan menghitung sampai tiga.

Jangan hilang kontrol. Satu

Kendalikan diri. Dua.

Sumpahi saja dalam hati. Tiga.

Abu sudah berjalan pergi meninggalkanku begitu aku membuka mata. Karena gagal memancingku, dia mencari masalah di sepanjang lorong dengan menabrak bahu anak-anak lainnya yang lewat. Ada satu anak perempuan, yang langsung meneriakinya. Satu kakak kelas, yang menyumpahinya. Namun, tidak seorang pun berani mengejarnya.

Satu anak laki-laki berbadan kecil yang, dari lambangnya, seangkatan denganku, tidak melakukan apa pun selain pasrah terpepet ke dinding saat Abu menabraknya. Kacamatanya jatuh ke lantai, dan Abu langsung menendang benda itu sampai masuk ke bawah kursi panjang di depan kelas sebelah.

Sementara kakak kelas dan siswi di lorong itu membantu si kecil mencari kacamatanya di bawah kursi, aku berjongkok di depan parit dan memungut tangkai besar kamboja merah yang rontok diterjang hujan untuk dimainkan di sisi got. Si kakak kelas tahu-tahu memanggilku. "Kamu!" teriaknya, mengalahkah suara hujan. "Sini! Bantu kami!"

IndigenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang