Bagian II

29K 4.1K 925
                                    

Somethings were simply breakable

But, those fragments might be remained immortal

But, those fragments might be remained immortal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TIDAK.

Tidak. Tentu saja tidak. Ini belum tamat—tetapi, malam tahun baruku berakhir begitu Banyu Biru mengucapkan selamat tidur itu. Aku membuka mata saat matahari sudah tinggi. Mama berdiri di samping ranjang dengan mata melotot.

"Tidur kayak orang mati. Mentang-mentang libur!"

Di depan kamarku, Grey berdiri dengan menenteng-nenteng sebelah tangannya yang diperban sampai bahu, tampak berusaha sekali memamerkan lukanya. Aku heran kenapa banyak anak di bawah 10 tahun yang bangga sekali kalau habis kecelakaan.

"Dimakan alili." Grey memberi tahu tanpa kuminta. Tangannya yang diperban melambai-lambai.

"Nanti itu infeksi," kataku, "nanahnya menyebar ke bahu, terus lumpuh—"

Jeritan Grey membawa Mama kepada gagasan untuk menggebuk mukaku dengan bantal sebelum akhirnya mengomeliku untuk masuk kamar mandi.

Selain suara seram yang sengaja dibuat Grey di luar pintu kamar mandi untuk menakutiku, seharian itu berjalan sebagaimana adanya. Tidak ada anak pramuka nyasar di atas meja belajarku. Seharusnya aku bisa kembali ke fantasiku dengan tenang. Seharusnya aku bisa kembali memimpikan akang cakep terbang tanpa perlu merasa takut saat melirik jendela. Seharusnya ....

Banyu Biru datang lagi malam selanjutnya.

Dan malam selanjutnya. Juga malam selanjutnya.

Lalu malam selanjutnya. Malam selanjutnya lagi.

Malam selanjutnya, sampai aku lupa bahwasanya malam hari itu untuk tidur dan siang itu untuk melek. Aku melek di waktu malam, molor siangnya. Mama bahkan kehabisan ide setelah semangkuk air tidak lagi mempan membangunkanku.

Lewat di jendela, lalu entah sejak kapan duduk di atas meja. Aku tak pernah melihatnya masuk. Tahu-tahu benda cokelat-biru itu sudah berada di atas meja belajarku. Aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya atau ke mana arah tatapannya. Rambutnya menutupi sebagian besar wajahnya.

Aku selalu mengungkung diri di dalam selimut, memeluk guling, menggigit bantal. Mimpi, kuyakinkan diriku. Cuma mimpi.

Bercerita ke Mama tidak berdampak besar. Dulu, aku juga pernah mengadukan masalah yang serupa. Aku bilang, ada zombie di bawah kolong kasurku, dan Mama bilang kasurku tidak ada kolongnya. Aku bilang ada nenek-nenek mengintip dari jendela, dan Mama bilang jendelaku cuma terlalu jarang dilap. Jadi, percakapan yang terjadi kurang lebih seperti ini:


Aku: "Ma, ada anak laki-laki di atas meja belajarku tadi malam."

Mama: "Oh."

Aku: "Dia pakai seragam pramuka."

Mama: "Ya, udah, ikut aja sama dia. Kamu dari SD nggak pernah ikut pramuka."

IndigenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang