Bagian XII

18.9K 2.9K 525
                                    

Hi, Sir, Good Afternoon

I'll give something for you really soon

Can't give you the moon, but I could try

*)To Sir, with love

*)To Sir, with love: British drama film in 1967

KADANG, AKU merasa beberapa detail kehidupan jatuh dari langit begitu saja dan menimpa kepalaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KADANG, AKU merasa beberapa detail kehidupan jatuh dari langit begitu saja dan menimpa kepalaku. Tidak ada peringatan atau tanda-tanda, pokoknya semua hal terjadi begitu saja tanpa peduli apakah otak fanaku yang sudah retak-retak ini sanggup menampungnya atau tidak.

Rasanya baru-baru ini saja aku terlahir ke dunia, tahu-tahu aku sudah harus tewas oleh matematika dan kimia.

Satu detik pertama, aku menyangka diriku masih memakai singlet dan celana dalam motif Doraemon; satu kedip mata berlalu, dan aku sudah berseragam SMA.

Beberapa jam yang lalu aku menyangka hanya ada diriku, Mama, dan Grey di dunia; baru kemudian aku sadar tenyata kami punya tetangga.

Tanpa menunggu kesiapanku juga, kehidupanku dikaruniai seorang cowok gila yang dangdutan dengan sirene ambulans di kuburan, anak culun yang menyayangi kacamata kebesarannya, nisan bertuliskan nama guru favoritku, dan adegan kriminal di Taman Makam Pahlawan.

Dan, jangan mulai dengan seorang anak laki-laki misterius yang datang dan pergi seenak pantatnya di atas meja belajarku.

Aku sempat berpikir bahwa mungkin alam semesta hanya senang iseng kepadaku; tuh, Nila lengah, ayo kita beri seorang anak perempuan seumurannya, yang rupanya adalah tetangganya, dan mereka akan satu kelas saat SMA!

Atau: wah, Nila meleng lagi, yuk, guru SMP-nya kita taruh di sebelah rumahnya, dan wanita itu KEBETULAN sekali ibu dari teman sebangkunya.

Mama bilang, memang aku saja yang tumpur kepeduliannya terhadap sekitar. Nah, aku tidak bisa menyangkal yang itu.

Sore itu, dengan alibi mengunjungi 'teman' yang merupakan anaknya, aku menemui Ibu Jingga.

Beliau tidak banyak berubah setelah berbulan-bulan aku tak melihatnya. Bu Jingga berperawakan tinggi ramping, tulang rahangnya menonjol, dan rambutnya ikal sebahu. Hampir semua kualitas fisiknya menurun ke Magenta, kecuali sorot mata yang ramah dan senyum yang murah.

Karena aku aktris yang payah, aku tergagap dan stoples kue yang kubawa sebagai tanda mata pun bergetar saat aku berkata, "Wah, I, Ibu ... ternyata ... waduh, kita bertetangga." Aku sadar benar kue di tanganku kalah garing dengan ucapanku, tetapi aku tetap melanjutkan, "Tak disangka-sangka—memang takdir ... ahaha. Oh, Ibu ini jangan-jangan ibunya Magenta ...? Ya, ampun!"

Jika hidupku ini film drama, sutradaranya pasti sudah hengkang, dan megafon di tangannya akan berinisiatif sendiri untuk terbang ke kepalaku.

"Ayo, masuk dulu, Nak." Bu Jingga memberiku jalan untuk masuk ke ruang tamunya. Suara beliau terdengar sengau, seperti orang pilek. Namun, rona wajahnya tetap tampak lebih segar ketimbang anaknya yang berdiri dengan wajah masam di belakangnya.

IndigenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang