Prelude

357 50 26
                                    


"What we see depends mainly on what we look for."

- John Lubbock -


▬▬▬▬▬▬▬▬▬


Sebenarnya, cuaca sangat cerah hari itu.

Langit biru terang ditemani semburat awan tipis, tampak seperti dilukis oleh kuas lembut milik para bidadari. Angin sepoi membelai seluruh daratan, membuat pepohonan menari pelan untuk menikmatinya. Dari balik daun-daun yang rimbun, serangga kecil terbang memutari taman dan ikut bergembira. Perpaduan musik alam yang luar biasa menakjubkan.

Tetapi kenyataannya, di setiap kebahagiaan selalu ada duka yang bersembunyi.

Secara rahasia, keributan kecil terjadi tanpa terelakkan. Seolah sengaja dilakukan diam-diam, meski tetap tidak mungkin luput dari pengawasan semesta. Mata-mata alam memperhatikan dan menjadi saksi bisu pemandangan menyedihkan.

Dia lagi, alam berbisik.

Masih di lokasi yang sama seperti sebelum-sebelumnya; sebuah gedung peralatan olahraga. Terletak seratus meter dari aula sekolah, dekat dengan tembok pembatas, ditemani tanaman rimbun dan sepetak rumput liar. Selalu dan selalu. Di sana, dengan orang-orang yang tak pernah lelah berbuat dosa.

Tangisan penuh rasa takut merupakan kidung terindah di telinga pemuda itu. Suara parau, tubuh gemetar, serta kepala yang terus menunduk tanpa berani terangkat sedikitpun. Menyenangkan, memuaskan, dan entah kenapa seakan membuat dirinya merasa... lega.

Disegani. Memegang penuh kendali. Aku yang berkuasa di sini.

"Hei," katanya. "Kamu pikir berapa banyak yang diperlukan untuk ini? Yang kamu berikan cukup?"

"M-m-maaf... a-aku mohon— "

"Bodoh!" Satu hantaman mentah mendarat, menciptakan pekikan pilu.

"A-a-aku akan mencari... pengganti— "

"Diam!" Hantaman kedua.

Korbannya mulai menangis kencang, merasakan sakit yang teramat sangat pada bagian hidung. "Maaf! Maaf! Ya Tuhan, maaf!"

"Masih berani bicara?" Hantaman ketiga, disusul suara yang semakin parau.

"Tidak bisa diam, ya?" Hantaman keempat, lelaki malang itu mulai mendengking seperti anjing.

"Kubilang diam!" Hantaman kelima, tak ada sahutan dari lawannya.

Pemuda yang satu lagi cuma bungkam, mengangkat sudut bibir seakan merasa cukup dengan pemandangan barusan. Ia hanya tak menyadari betapa hati dan nuraninya tersayat secara perlahan; dalam, pelan, menyakitkan. "Jungkook, kurasa itu sudah cukup."

"Ya, mungkin," yang dipanggil namanya mengangkat bahu, "dia pingsan."

"Aduh. Kasihan..." pemuda lain berjongkok, mengecek tubuh lelaki malang yang tergeletak. "Hidungnya patah. Kamu berlebihan kali ini, bro."

"Salah sendiri. Menginjak sepatuku sama seperti menginjak harga diriku, tahu?" dia mendengus. "Ayo, Tae, Jim, kita kembali."

Taehyung berdiri dan menepuk tangan, membersihkan bekas tanah yang menempel di telapak seadanya, lantas mengekor di belakang Jungkook. Dari saku, dia keluarkan sebatang permen untuk pemanis. Menghilangkan rasa pahit di lidah yang selalu muncul sehabis menyaksikan orang lain menderita.

Sementara Jimin tertinggal di belakang, sengaja menunggu kedua sobatnya sedikit jauh. Kali ini ia yang menekuk lutut di sisi korban. Pelan-pelan ia mengamati luka yang tercetak pada wajah dan tubuh lelaki malang tersebut. Bercak darah paling parah berasal dari pelipis serta batang hidung, terdapat pula garis samar yang mengkhawatirkan.

Mungkin Taehyung benar, hidung orang ini patah.

Jimin merogoh saku kemeja, menarik selembar saputangan biru tua dari sana. Dengan hati-hati dan ditemani desiran gelisah dalam dada, ia mulai mengusap cairan merah yang mengalir keluar dari hidung; merembes pada kain hingga membentuk noda beraroma besi karatan. Dahinya berkerut, ikut merasakan perih.

Astaga. Ini pasti sangat...

"Apa hukuman pantas untuk orang-orang yang menyakiti sesamanya?"

Mata Jimin membola. Barusan terdengar nyata. Sebuah suara asing menyapa, membikin pemuda itu berbalik untuk mencari sumbernya.

Siapa?

"Mati? Bukannya itu berlebihan?"

Nihil. Tiada siapa atau apa di sekitar. Jimin hanya menemukan rumput liar yang saling bertabrakan, desir sang bayu di sela-sela ranting, serta riuh rendah para penghuni sekolah dari kejauhan. Suara itu tak berwujud, begitu pikirnya.

"Benar, sih. Mereka juga berlebihan. Jadi, baiklah! Mati adalah hukuman paling tepat."

Jimin segera bangkit, seraya berusaha untuk tidak gemetar. Masih dengan perasaan was-was dan netra yang menyapu sekitar, ia keluarkan ponsel lantas mulai menekan tombol secara gesit. Panggilannya tersambung setelah beberapa saat.

"Halo? Kak, tolong sampaikan pada anak-anak PMR, ada bocah terluka di belakang gedung peralatan olahraga. Kurasa hidungnya patah," ia memberi jeda sejenak, "oh... tidak, aku tidak tahu. Waktu kutemukan, sudah dalam keadaan seperti ini."

Jantungnya berdebar cepat. "Iya, Kak. Tolong ya? Terima kasih."

Sebaiknya aku pergi sekarang.

Namun belum selangkah saja, suara asing itu lagi-lagi terdengar. Sekarang lebih dekat. Seperti bisikan yang terbawa oleh angin.

"Lalu, apa hukuman untuk pembohong?"


[]


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SELCOUTHWhere stories live. Discover now