02 - Prevalensi

225 37 11
                                    


▬▬▬ Langit senja tengah memanggil seluruh penghuni kota untuk menikmati keindahannya. Memamerkan perpaduan living coral, radiant yellow, amberglow, dan warna papaya. Sedikit-sedikit terdapat pula semburat magenta haze yang bercampur sempurna. Luar biasa; keindahan yang tidak mungkin bisa diutarakan meski oleh potret fotografer ternama dan lukisan seniman bertangan emas. Terkadang, apa yang diberikan alam memang hanya bisa dinikmati dengan mata telanjang. Lantas disimpan baik-baik dalam ingatan.

Setidaknya, demikian menurut Kim Taehyung.

Iya. Kim Taehyung yang itu.

Meskipun tampilan luarnya tampak seperti musuh bebuyutan para pengajar di sekolah, dengan seragam yang selalu lusuh seakan baru dipakai berguling-guling di koridor dan rambut yang lebih sering terlihat bagai sarang burung, Kim Taehyung—dengan sangat tidak terduga—termasuk orang yang sangat perasa.

Ia suka memperhatikan situasi dan kondisi sekitar, mengamati pergerakan orang-orang, membayangkan bagaimana jika posisi mereka bertukar. Terkadang Taehyung bahkan merasa sakit dan perih tatkala menyaksikan sendiri teriakan murid-murid yang menjadi korban Jungkook. Tapi, sudah. Semua sebatas perasaan, tanpa ada tindakan, hanya diam.

Karena menurut Taehyung, apapun yang dilakukan Jungkook tidak bisa dianggap salah sepenuhnya. Semua beralasan. Ia akan diam dan mengawasi. Itulah kenapa Taehyung lebih memilih untuk bergerak di belakang layar, tidak ikut campur setiap ada baku hantam, mengecap rasa manis permen batangan ketika sudah tak mampu melihat luka dari orang lain, serta turun tangan hanya saat diperlukan.

Meregangkan tubuh seraya melangkah ke dekat jendela, pemuda itu mengintip keadaan di luar. Sudut bibirnya sedikit terangkat ketika mendapati deretan pertokoan di luar mulai menyalakan penerangan. Tampak pula beberapa pemilik hot bar menyiapkan camilan baru dengan porsi lebih banyak daripada saat berjualan siang hari. Lalu ada pedagang kopi keliling yang berhenti tak jauh dari sana, memasang lampu portable dan meletakkan meja tambahan. Taehyung segera berbalik, menoleh pada Jungkook yang masih memaku pandangan pada layar komputer.

Sudah lebih dari empat jam duduk di internet cafe dan bocah itu sama sekali tidak bergerak dari kursi. Hanya tangannya yang sibuk menari di atas keyboard, menekan mouse penuh emosi, serta bibir yang sesekali mengumpat. Sementara botol soda tergeletak di sisi kiri, masih tersisa separuh.

"Jeon," Taehyung mendekat, menepuk bahu kawannya. "Ayo pergi."

Jungkook berdecak. Tetap menaruh tatapannya pada layar dan menggerakkan bahu secara kasar, berusaha menyingkirkan tangan Taehyung. "Diam."

"Matamu bisa sakit kalau terlalu lama main. Berhenti saja dulu."

"Tidak lihat, ya, aku sedang berada di puncak permainan?"

Taehyung merotasikan bola mata. "Kamu belum makan sejak siang."

"Aku tidak butuh makan."

"Kamu bisa kehilangan tenaga, Jeon."

"Apa kamu ibuku? Ibuku saja tidak pernah begitu."

Kali ini Jungkook merespons sambil menekan keyboard sedikit lebih keras. Membuat Taehyung merasa ngeri kalau-kalau perbuatan si bocah dapat merusak benda tersebut. Bisa gawat nanti jika mereka dicoret dari daftar pelanggan berdiskon.

"Anggap saja iya," kata Taehyung pada akhirnya. Sambil tersenyum sok manis, ia mengacak rambut Jungkook. "Anakku, ayo kita pulang dan makan malam. Nanti kamu bisa sakit atau malah mati kelaparan. Ibu tidak mau repot-repot menggotong mayatmu. Patuh pada ibu sekali ini saja ya, Nak?"

SELCOUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang