Part 2. Soulmate

3 2 0
                                    



"Ntar malam aku jemput, ya," ujar Bastian, saat Sara kembali membawakan minumannya, "Mama ingin berkenalan denganmu."

"Aku 'kan kerja, Bas," dalih Sara.

"You're the boss, Beib. Kapan aja kamu bisa pergi, 'kan?"

Tentu saja Sara paham, dia harus mencari alasan lain untuk menolak ajakan pria tersebut. Bukan karena gadis itu tidak menyukai Bastian, tapi ada alasan lain yang membuat dia tidak bisa menerimanya.

Bastian, seorang pria mapan, baik secara finansial ataupun penampilan. Nyaris sempurna untuk kriteria seorang pendamping masa depan.

"Come on, Sara. Ini sudah kali ketiga kamu menolak ajakanku, aku jadi ragu apakah kamu benar-benar menyukaiku atau tidak." Bastian memberi tekanan pada kalimat terakhirnya.

Sara tercekat sesaat. Dia sama sekali tidak menyangka salah satu manajer perusahaan ritel terbesar di kota ini, mulai mencurigai gelagatnya.

"Tentu saja aku suka sama kamu, Bas. Dan aku rasa, bukan cuma aku, loh. Di luar sana, pasti banyak gadis yang naksir kamu."Sara mencoba berdalih, "Kemarin malam kita juga baru jalan bareng, 'kan."

"Kemarin itu kita cuman pergi makan malam, trus belanja. Kali ini aku mau ngajakin kamu ketemu sama Mama. Kamu tahu maksudku, 'kan?" Bastian terus mendesak.

Justru itu yang bikin aku gak bisa, Bas.Aku belum siap untuk hubungam yang lebih serius.
Namun, bukan kalimat tersebut yang terucap dari bibir mungil gadis 25 tahun itu.

"Malam ini aku sibuk, Bas. Ada menu baru yang mau aku trial bareng Kiya."

Sara menikmati hubungannya dengan pria tersebut. Selain karena sering dimanja dengan perhatian dan hadiah-hadiah, Bastian juga teman ngobrol yang menyenangkan. Wawasannya luas, bisa diajak bertukar pikiran. Dia juga berasal dari keluarga baik-baik. Bastian pernah bercerita tentang keharmonisan keluarganya pada Sara.

"Apalagi yang kurang, Sara?" Suatu ketika, Kiya pernah menanyakan hal itu padanya.

"Gue gak siap, Ki."
"Gue ngerti, Sar. Tapi udah saatnya lo move on dari masa lalu. Emangnya lo mau jadi perawan seumur hidup?" Kiya mencoba menakuti Sara.

Sara mengedikkan bahu sembari menghela napas pelan.

"We'll see."

"Keras kepala." Kiya menonjok pelan bahu sahabatnya itu.

Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama menjadi mahasiswi di sebuah sekolah tinggi pariwisata. Kesamaan hobi dan ketertarikan pada dunia kuliner menyatukan keduanya, hingga akhirnya mereka sepakat mendirikan usaha kafe. Jalan panjang yang dilalui, mulai dari perintisan hingga menjadi terkenal seperti sekarang, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani.

Apalagi mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Banyak perbedaan pandangan antara keduanya, yang tidak jarang membuat Sara dan Kiya berdebat panjang. Namun, hal itu juga yang menyatukan mereka.

"Sara, sorry—." Suara Kiya yang baru saja masuk, membuyarkan lamunan gadis bertubuh langsing itu. Dengan bobot 52 kg dan tinggi 165 cm, bahkan boleh dikatakan kurus.

"Hei, what's up, sista?" Sara memegang kedua tangan Kiya di atas meja bar, seraya menatap lekat ke bola mata sahabatnya itu. "Lo kenapa, Ki?"

"Gue gak bisa nemenin lo, buat trial resep baru itu. Mendadak Rio ngajak ke butik, buat mastiin lagi pilihan gaun pengantin kemarin."

"Loh, bukannya kalian udah sepakat?" tanya Sara. Kiya menjawab dengan menggelengkan kepala, terlihat pasrah.

Sara tahu, seharusnya dia tidak perlu bertanya lagi. Kiya memang lemah dalam mempertahankan pendapat. Dia cenderung enggan mengecewakan pasangannya, untuk menghindari percekcokan. Berulang kali Sara mengingatkan, agar Kiya mau berubah, tapi nyatanya lagi-lagi dia gagal.

HOMEWhere stories live. Discover now