Part 4. Dinding Informasi

2 2 0
                                    

Ruangan kafe ini didominasi oleh warna cat berwarna putih, sama seperti bagian luar, bagian interior ruangan dipenuhi oleh batu bata ekspos tanpa plesteran. Mempertahankan bangunan asal. Kursi dan meja ditata terlihat asal-asalan tetapi menghadirkan kesan artistik klasik. Sebagian diletakkan di bawah pohon randu yang tumbuh alami di halaman.

Di sisi kanan pintu masuk, disediakan dinding pusat informasi. Para pengunjung diberi kesempatan untuk memberi atau mencari info yang mereka butuhkan. Misalnya lowongan kerja, iklan property, hingga biodata diri para pencari kerja.

Perihal dinding informasi ini, yang merupakan ide dari Sara, awalnya sempat jadi perdebatan antara kedua gadis tersebut. Kebanyakan pengunjung adalah para pemburu loker, yang notabene uang jajannya terbatas. Jadi mereka ramai-ramai datang ke kafe, tapi tidak memesan apa-apa.

Tentu saja Kiya merasa terganggu dengan hal itu, karena memberikan ketidaknyamanan pada pengunjung yang lain. Namun, Sara meyakinkan bahwa itu hanya eforia sesaat, perlahan mereka akan menikmati sisi lain dari keunikan konsep tersebut. Dan ternyata benar.

Tidak sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan dari informasi tersebut, lalu menjadi pelanggan di kafe.

Dampak positif lainnya adalah kekuatan promo dari mulut ke mulut. Apalagi bukan hanya manfaat yang mereka dapatkan, tapi racikan kopi dan menu donat yang variatif khas kafe ini memang sangat istimewa..

Sara, yang pada dasarnya suka berbenah, tidak sungkan mengambil sapu dan kain pel, untuk membersihkan lantai yang terlihat tidak tertata rapi. Meskipun mereka sudah memiliki karyawan yang menangani hal tersebut.

Petang yang redup kala itu, Sara sedang asyik memunguti helai daun kering yang jatuh diterpa angin. Seseorang dengan langkah tergesa datang menghampiri.

"Mbak ... Gue mau nempelin info open recruitmen di sini, boleh 'kan?" Tanpa basa-basi pria itu menjawil tangan Sara, yang saat itu sedang menunduk memunguti dedaunan. Gadis berambut coklat terang itu tidak menoleh.

"Eh, Mbak bisu, ya? Atau gini deh, tolong panggilin Bos-nya, biar sekalian gue minta izin sama dia."

Sara mendengkus kesal, "Tempel saja itu kertas di muka lo! Trus lo berdiri di dekat pintu sepanjang hari."

"Eh, mana bisa begitu, ntar kalau gue laper atau ingin boker, gimana, dong?"

"Bodo amat!" Sara berbalik, dan matanya tepat terkunci ke arah pria yang dianggapnya rese tadi. Tanpa sadar netra dan bibir gadis itu membulat serentak. Sementara sang pria masih fokus pada lembaran kertas di genggamannya.

Gila, ganteng banget!

"Yuk, gue antar ke Boss, ya!" Dengan cueknya Sara menggamit lengan pria tersebut, dan membawanya masuk.

"Eh ...."

Mau tidak mau pria tersebut mengikuti langkah kaki gadis di sampingnya.

"Silakan duduk dulu, bentar lagi Boss ke sini. Eh, ya, mau pesan kopi barangkali?"

"Kopi? Bolehlah ... thai tea, ya!"

"Humor Anda lucu, Tuan." Sara menaikkan bibir kanannya, sebelum berbalik arah.

HOMEWhere stories live. Discover now