Part 8. Siblings

4 0 0
                                    

"Kak, kenapa sih, Mama sering nangis?" tanya Sara, ketika keduanya menunggu bis sekolah siang itu.

"Emangnya kamu tahu dari mana?" Rachel menatap wajah adiknya. "Kamu ngintip, ya?"

"Nggak, kok. Aku Cuma pernah dengar beberapa kali."

"Ingat, ya! Jangan coba-coba mengintip Mama sama Papa kalau lagi ribut. Kalau ketahuan Papa, habis kamu!"

"Habis gimana, Kak? Ngomong yang jelas, dong!" Sara mengoyang-goyangkan tangan sang kakak, menuntut penjelasan.

"Pokoknya ingat pesan Kakak."

Rachel memilih diam. Gadis kecil berusia 12 tahun itu menatap nanar gerbang sekolah di hadapan mereka. Ingatannya melayang ketika dia terbangun di tengah malam karena haus. Rachel beranjak keluar kamar menuju dapur. Saat itulah dia melihat Carl menampar wajah Nastiti. Refleks Rachel menjerit, dan pekikannya membuat Carl terkejut, lalu berbalik menuju ke arahnya. Tidak pelak lagi, Rachel pun turut menjadi sasaran kemarahan sang ayah.

"Jangan! Hentikan, Carl. Pukul saja aku sepuasmu. Jangan sentuh dia." Nastiti menahan tangan suaminya yang akan kembali melayangkan pukulan ke arah Rachel. "Masuk ke kamarmu, Nak!"

Rachel dengan ketakutan berlari ke kamar. Rasa haus yang tadi melanda terlupakan sudah.

"Kak!" Suara lembut dari bibir mungil Sara membuyarkan lamunan Rachel.

"Eh, itu bisnya udah datang, yuk!" Rachel segera menarik tangan adiknya, dan berlari bersama anak-anak lain. Mereka berebutan menaiki bis tersebut.

Sara, yang biasanya duduk bersebelahan dengan teman-temannya, kali ini memilih di samping Rachel. Tampaknya Sara masih ingin mendengar lanjutan cerita Rachel. Namun, sang kakak menyibukkan diri dengan membolak-balik buku yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sara paham, kalau Rachel sedang memegang buku, dia tidak mau diganggu. Akhirnya Sara pun ikut diam dengan menyimpan bermacam tanya.

"Kak—." Sara menjawil lengan kiri Rachel. Sang kakak menoleh, lalu melanjutkan bacaannya. Sara menekuk wajahnya, tetapi Rachel tidak memedulikan. Dia terus mengarahkan netra ke buku di tangannya. Sara tahu, kakaknya tidak sedang membaca.

"Kenapa bukunya gak dibalik-balik, Kak?" Sara kembali mencecar. Rachel tetap bergeming.

"Ih, Kakak payah! Sebel aku, tuh," rungut Sara.

"Duduk dekat Hannah, gih!" usir Rachel.

"Ogah! Aku gak temenan sama Hannah, tadi pas jam istirahat, dia bilang gini, 'Sara, kamu kalau sudah gede, gak bakal ada yang mau nikah sama kamu,' gitu katanya, aku sebel." Sara menyerocos sambil sesekali melirik ke arah teman sekelasnya itu.

Rachel menutup mulutnya, menahan tawa. Tentu saja dia geli, karena anak usia 7 tahun sudah bicara soal nikah. Rachel sendiri, yang kata mamanya sudah baligh, belum berani menyukai lawan jenis. Walau tidak sedikit teman cowoknya yang suka memberi perhatian khusus.

"Terus, kamu apain dia?"

"Aku ambil botol minum yang sedang dipegangnya, lalu aku buang isinya." Enteng saja Sara mengucapkan itu, tanpa merasa bersalah.

"Sara, kamu nggak boleh gitu!"

Sara hanya diam, dan makin mengerucutkan bibir mungilnya. Tampak kekesalannya kian berlipat. Namun, Rachel lega, karena keinginan Sara untuk mengorek cerita dari Rachel terlupakan sudah.

Rachel memang rada tertutup. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Tidak seperti teman-teman sekelasnya, yang sering bercanda dan membicarakan tentang cowok-cowok ganteng, atau artis-artis yang sedang viral.

Sangat berbeda dengan Sara. Periang dan atraktif dengan perasaannya. Sara juga tinggi rasa percaya dirinya, tidak takut untuk menunjukkan konfrontatif dengan sesuatu yang tidak disukainya.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HOMEWhere stories live. Discover now