Part 5. Reuni Dadakan

2 2 0
                                    

Selang beberapa saat, Kiya dan Rio datang sambil bergandengan tangan—mesra. Sara tersenyum menyambut keduanya. Tentu saja dia ikut bahagia saat melihat senyum lebar di wajah sahabatnya.

"Hai, Sara!" Renyah sapaan dari Rio. Sara menyahut dengan senyuman. Ada rasa bersalah melintas di benaknya, karena sudah mencurigai Rio, tidak akan mampu memberi kebahagiaan pada Kiya.

"Oh, ya, ada tamu itu, mau pasang info loker katanya. Lo saja yang nemuin dia, ya, Ki."

"Eh, napa bukan lo saja?" Kiya menjengit. "Bukannya urusan dinding info, lo yang lebih paham."

"Gue nggak kuat, Ki. Dia terlalu ganteng, gue takut khilaf." Sara berbisik, dengan suara yang dibuat menggoda. Spontan Kiya memutar bola matanya ke arah Sara.

"Dasar lo, ya ... tobat, deh!" Keduanya serentak tertawa.

Kiya dan Rio melangkah ke arah meja yang ditunjuk Sara dengan isyarat bibir. Sementara itu, Sara pun menyiapkan beberapa pesanan pengunjung. Di akhir pekan seperti ini, memang suasana kafe lebih ramai dari biasanya. Para tamu didominasi oleh beberapa pasangan muda yang sedang berkencan.

"Maaf, selamat sore, benar Anda yang ingin memasang info loker di kafe kami?" Kiya menegur pria yang dimaksud oleh Sara.

Pria tersebut menoleh, dan akan mengulurkan tangan, lalu—

"Rio—hei, apa kabar?" Sontak Rio pun terperangah saat melihat pria itu. Keduanya bersalaman dan saling merangkul. Rio pun menepuk-nepuk bahu pria itu.

"Ke mana aja, lo, Den—gila, makin gagah, euy!" Keduanya kembali tertawa.

Kemudian Rio memperkenalkan Dennis, pria itu pada Kiya. Ternyata mereka adalah teman lama saat masih menjadi mahasiswa arsitek di Trisakti, Jakarta. Usai menamatkan pendidikan, mereka berpisah, dan tanpa kabar sama sekali.

"Lo beneran hilang dari peredaran begitu wisuda, ya, Den. Nggak ada satu pun teman-teman yang tahu keberadaan lo." Rio kembali mempertanyakan.

"Gue pulang ke Medan. Perusahaan orang tua Nyokap butuh penerus. Sementara Bokap gue sama sekali nggak minat ngurus harta mertuanya. Otomatis gue dong, yang jadi korban," urai Dennis. "Jadilah tukang gambar ngurus kebun sawit."

"Wah, enak, dong! Jadi juragan sawit, lo. Terus sekarang, ngapain?"

Keduanya asyik bertukar cerita dan sesekali ditimpali dengan candaan-candaan zaman masih di kampus. Kiya diam saja memperhatikan mereka, hingga kemudian Sara datang membawa pesanan Dennis.

"Untung aja lo datang, Sar—"

"Emang kenapa, Ki?" Sara mengernyit heran. Kiya mengerucutkan bibir mengarahkan pada kedua pria di hadapannya. Saking serunya mereka bercerita, hingga tidak menyadari kehadiran Sara.

"Ini pesanannya, thai tea with green tea." Kiya menaruh gelas ke atas meja, lalu berbalik arah untuk kembali ke dapur.

"Eh, Sar ... di sini aja, kenalin nih, teman gue." Rio menahan langkah Sara. Dennis pun mengulurkan tangan sembari menyebutkan namanya, yang disambut oleh Sara.

"Bukannya lo tadi yang bebersih di taman, ya?" Dennis mengernyitkan alis, seolah sedang mengingat sesuatu.

"Salah orang, kali!" Sara dengan cuek menjawab.

Dennis mengedikkan bahu, lalu meneruskan obrolannya dengan Rio, yang sempat terputus. Menyaksikan hal tersebut, Sara mendengkus pelan, lalu memberi isyarat pada Kiya, untuk berlalu.

"Maaf, jika kehadiran gue nggak dibutuhkan, boleh ya, gue pamit ke dalam." Meskipun kesal, Kiya dengan sopan meminta izin.

"Eh, iya, gue 'kan mau masang flyer di dinding luar itu. Gue denger-denger, dinding informasi di sini cepat banget tersebarnya. Udah kayak job expo, gitu. Ada syarat khusus, ya?" Dennis mengalihkan pandangan pada Kiya.

"Gampang, langsung aja ntar ngomong sama Rio." Kiya berdiri dan melangkah meninggalkan mereka.

"Kafe ini punya lo, ya?" Dennis bertanya pada Rio.

"Bukan, kafe ini join bareng Kiya sama Sara, gue Cuma bantu-bantu aja, kok." Rio menerangkan, "oh, iya, Kiya itu calon istri gue."

"Wah, congrats, deh! Lu terlepas dari predikat jomlo."

"Thanks, Bro!"

HOMEWhere stories live. Discover now