Part 6. Sketsa Hitam

6 2 0
                                    

"Kamu mau pulang kapan, Sara?" Itu kalimat sambutan yang diterima Sara, saat dia baru tiba, dan memeluk kedua ponakannya yang lucu..

"Yaela, Kak ... baru aja nyampe, aku masih kangen nih, sama bocil-bocil." Sara menjawab sembari mencandai kedua ponakannya.

Mike, berusia tujuh tahun, sedangkan Jean, tiga tahun, adalah sepasang putra-putri Rachel, kakak Sara. Gadis itu selalu menyempatkan menjenguk sang kakak, satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya. Sara merasa bahagia, setiap kali berada di rumah ini, Rachel sangat telaten dalam mengurus rumah tangga. Rumahnya selalu rapi dan bersih. Ditambah lagi kedua anaknya yang lucu-lucu. Namun, karena jarak yang jauh dari rumah dan tempat kerjanya, hingga tidak setiap akhir pekan Sara bisa mengunjungi sang kakak.

"Kalau kamu nginep, Kakak 'kan bisa nyiapin kamar, juga masak sesuatu." Rachel berseru seraya melangkah ke arah dapur. Membiarkan Sara yang sedang menemani kedua anaknya di kamar.

"Ih, apaan sih, Kak, tumben banget—kayak ama siapa aja," balas Sara dengan berteriak. "Liat nanti, deh!"

Sara tidak menghiraukan gerutuan kakaknya, dia melanjutkan bermain dengan sang ponakan. Jean fokus menyusun kepingan puzzle, suatu hal yang tidak disukai Sara. Ribet, alasannya. Sara beralih ke gambar yang sedang dibuat oleh Mike. Sudah banyak gambar yang dihasilkan oleh Mike. Imajinasi anak itu tinggi, banyak hal yang bisa dia ceritakan melalui gambar animasinya.

"Gambar apa ini, Mike?—ups, sebentar, biar aunty tebak dulu, ya."

Tanpa mengalihkan pandangan, dan masih meneruskan aktifitasnya, Mike berujar, "Kalau tebakan aunty salah, kasi hadiah, ya."

"Jean juga mau hadiah, aunty ...." rengek gadis kecil itu seraya memperlihatkan mimik wajah memelas. Menggemaskan.

"Oke, buat kalian aunty akan siapkan hadiah yang spesial, asalkan janji jadi anak pinter dan nggak bikin Mami kalian sedih."

"Tapi ... Mami sedih bukan karena kami, aunty—"

"Jean!" Ucapan Jean langsung ditukas oleh kakaknya. Mike membulatkan matanya ke arah sang adik. Sara memandang keduanya bergantian.

"Ada apa?"

"Nggak kenapa-napa, kok." Mike menyodorkan gambarnya, " katanya aunty mo nebak gambar aku."

Sara meraih dan memperhatikan kertas yang diberikan Mike. Namun, benaknya masih terpaku pada ucapan kedua ponakan tadi. Dari sikap Mike, tampak mereka menyembunyikan sesuatu. Kertas yang dipegang Sara bergambar sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan kedua anak. Sara bisa mengartikan bahwa itu adalah potret keluarga kakaknya.

Namun, ada yang aneh pada gambar tersebut. Sara mengernyitkan keningnya. Tidak seperti gambar lain yang pernah dibuat oleh Mike, animasi sebuah keluarga di atas kertas putih itu berwarna hitam pekat. Bahkan, wajah para tokoh di gambar itu hanya berbentuk bayang-bayang gelap, tanpa mata, hidung, dan lainnya.

Jika biasanya Mike membuat gambar keluarga disertai atribut pelengkapnya, kali ini polos tanpa apa-apa. Hal ini makin memperkuat kecurigaan Sara.

Gadis itu masih diam menekuri gambar di tangannya. Di sisi kanannya, Mike menatap adik ibunya itu, menanti komentar sang bibi. Kemudian Sara membalas pandangan Mike, lekat dia mencari jawaban dari sepasang mata bening itu.

"Papi kalian di mana, Mike?"

Mike tidak menjawab, lalu sontak menutup mulut Jean, saat dilihatnya sang adik akan angkat bicara.

"Mike, lihat aunty!" Sara memegang kedua pipi Mike dan mengunci tatapannya.

Jean langsung menangis, begitu juga Mike, mulai terisak. Sara tercekat. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang berserabutan tanpa arah. Sara memeluk keduanya, sambil mengusap kepala Mike dan Jean. Netranya menghangat. Sedapat mungkin dia menahan sesak di dada. Berharap apa yang menjadi kekhawatirannya tidak benar-benar terjadi.

Suasana hening sesaat itu, dibuyarkan oleh panggilan Rachel dari arah ruang makan. Sepertinya Rachel sudah selesai memasak, dan mengajak mereka untuk makan siang bersama. Sara mengusap mata kedua ponakannya, dan menghapus air mata mereka.

"We'll coming!" sahut ketiganya serentak, seperti biasa saat mereka akan menikmati menu istimewa buatan Rachel.

HOMEWhere stories live. Discover now