Part 3.Kiya dan Rio

4 2 0
                                    

Kiya dan Rio akan menikah enam bulan lagi. Sara tahu mereka saling mencintai, tetapi dia tidak ingin sahabatnya itu terjebak dalam rasa cinta yang semu. Menikah hanya karena mempertahankan ego, takut dianggap tidak mampu berkomitmen.

"Sara Sayang, Rio adalah pilihan gue. Dan gue siap dengan konsekuensinya."

"Termasuk jika nanti lo nggak bahagia?" cecar Sara. Tampak sekali kekesalan di wajahnya.

"Kenapa gue harus nggak bahagia?" tukas Kiya. "Buat gue, Rio adalah yang terbaik.gue akan terima dia dengan kekurangan dan kelebihannya."

"Tapi elo 'kan masih bisa usaha, nyari yang lebih sempurna." Sara masih keukeh dengan argumennya.

"Emangnya lo yakin, ada yang bener-bener sempurna? Kalau pun ada, mungkin bukan gue pilihannya, karena gue juga nggak sempurna," pungkas Kiya.

Sara tercenung. Di satu sisi benaknya, membenarkan ucapan Kiya, tetapi di sisi lain, baginya itu adalah hal yang sia-sia. Membuang waktu dan pikiran, terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan.

Sara menatap dinding kafe yang berwarna putih, pada beberapa sisi dipenuhi dengan batu bata asli tanpa plasteran. Meski tatapannya ke arah dinding yang memiliki ornamen klasik, pikirannya melayang pada kelebat ingatan masa lalu, yang sebenarnya tidak ingin dia kenang. Wajah sang ibu yang ayu, khas perempuan Jawa, terhapus oleh perlakuan buruk ayahnya, yang tidak ingin dia sebut papa.

"Sar, gue cabut dulu, ya. Sekali lagi, maafin gue, ya." Kiya menyentuh lembut tangan sahabatnya itu. "Lo nggak tersinggung dengan ucapan gue, 'kan?"

Meski terkejut, Sara berusaha untuk tetap tenang."Yaela, kayak baru kenal kemarin aja, udah, sana pergi! Ntar diomelin Rio, tau rasa lo."

"Beneran, lo nggak apa-apa?" Kiya tahu luka masa lalu sahabatnya itu.

"I'm okay." Sara meletakkan kedua jarinya di sisi pelipis seraya menyunggingkan senyum termanis yang dia miliki.

HOMEWhere stories live. Discover now