- Nanna -

80 11 6
                                    

Hari ini ketika gadis kita terbangun, ia menangkap sepasang bayangan menghalangi lajur cahaya di bawah pintu kamar kosnya. Bisikan-bisikan yang memburu dapat ia dengar. Gadis kita pun menghempaskan selimutnya. Ia memaksa kedua kaki yang ngilu berdiri di ruangan gelap nan sempitnya.

Sosok yang berada di depan pintunya mengganggu, sangat mengganggu tidur tiga jamnya. Terlalu banyak menguarkan sesuatu yang hangat di udara dingin pagi buta ini, terlalu banyak lengkingan rendah dan embusan napas berat yang berisi gairah ganjil. Gadis kita mengusap kasar wajahnya sendiri. Ia menoleh ke mejanya, menatap screensaver laptopnya yang memperlihatkan empat angka: 03.09.

"Itu pasti Bita, 'kan?" Gadis kita mulai berjalan lambat ke arah pintu. "Apa lagi yang ia permasalahkan?"

Ia memutar kenop pintu. Cahaya lampu lorong lantai tiga menyengat kedua bola matanya. Gadis kita meringis. Benar saja, di hadapannya kini merupakan seorang gadis yang mengenakan kemeja putih dibalut almamater kampus, tetapi ganjilnya gadis yang biasa gadis kita panggil Bita itu hanya mengenakan celana pendek sebagai bawahannya.

"... Kamu ngapain?" Suara gadis kita parau, ia belum minum semalaman.

Raut dahi Bita timbul. "Eh sorry, gara-gara aku kamu jadi kebangun, ya?"

Gadis kita menggelengkan kepala, enggan membuat tetangga kamarnya tidak enak hati. "Aku belum tidur, nugas," balasnya pelan. "Kamu ngapain?"

"Oh, iya." Bita ikut mengecilkan suaranya, diikuti tawa pelan yang canggung. "Aku latihan interview, di kamar gak ada kaca jadi aku pake kaca lorong aja."

Jangan lihat cerminnya.

Sebuah deham kecil terlepas dari mulut tipis gadis kita. Manik mata gelapnya berguncang takut, berupaya tak melihat cermin di seberang pintu kamarnya yang memanjang dari ujung hingga ujung lorong lantai tiga.

"Interview magang?" tanyanya.

"Kok tahu?"

"Kurang lebih itu sih yang selalu kita omongin kalau ketemu, dari dua minggu yang lalu tepatnya."

"Iya, ya?" Bita tersenyum lebar. "Tapi, tapi, tapi, e-mail-ku dibales!"

Gadis kita menatap lawan bicara dengan senyuman di kedua matanya. "Ajakan interview? Congrats, moga lancar interviewnya nanti." Ia meraih kancing almamater Bita yang belum bertaut, memperbaikinya. "Aku ...."

Mendadak badannya terhuyung. Terlalu banyak menatap layar laptop, kurang tidur, dan perut kosong merupakan formula yang ideal untuk membuat tubuhnya serasa melayang. Bita dengan sigap menangkap tubuh tetangga kamarnya. "Kamu gak papa?!"

Kabut hitam mulai memenuhi pandangan gadis kita. Namun sebelum ia benar-benar hilang kesadaran, kepalanya tertoleh ke arah cermin.

Gadis kita menatap sepasang mata Bita dari pantulan cermin.

Dan ia terhisap.

Ruangan itu temaram, tetapi cukup jelas untuk mengenali seorang wanita berseragam hitam-putih menyusui seorang bayi mungil di dekapannya. Lampu tidur kekuning-kuningan yang bertengger di dinding memperlihatkan senyuman lebar sang wanita. Telunjuknya mengelus pelan pipi bulat bayi yang bukan miliknya.

Adegan itu terus berulang keesokan malamnya, keesokannya lagi, dan keesokannya lagi.

Namun bukan hanya itu yang berulang dalam kehidupannya.

Masa-masa ia bangun sebelum matahari terbit, membuatkan teh untuk tuan dan nyonya rumah yang ia tumpangi, dan juga mengawasi pria tua yang mengurus halaman rumah seraya memastikan seragam putih-hitam beserta gelungan rambut kecokelatannya tidak longgar adalah rutinitasnya.

Rutinitas yang ia yakini akan menyelamatkan hidupnya.

Sesekali ketika ia hendak membawakan cemilan pada nyonya rumah yang dikunjungi sahabat-sahabatnya, ia dapat mencuri dengar percakapan mereka.

"Dari mana kau mendapatkannya? Sungguh, tiap kali kau bercerita tentangnya, aku merasa dia bukan manusia!"

"Dia manusia, percayalah padaku. Ia yang menyusui James dari bayi, dan aku yakin dari sorot mata hanganya itu, ialah manusia yang paling mencerminkan pembantu ideal menurutku!"

Sanjungan. Wanita itu tersenyum puas. Dengan terus memuaskan hati mereka, ia akan tetap bertahan hidup. Ia tidak akan dikirim kembali ke asalnya.

Ia terus melakukan rutinitas itu dengan baik. Terbangun di menit yang sama di tiap harinya, menaruh kadar gula yang sama dalam tiap cangkir teh, dan merawat lelaki kecil yang kelak akan membanggakan tuan dan nyonya rumah.

Hingga pada hari itu, ketika ia tengah menggendong keranjang besar berisi pakaian kotor, ia melihat James—lelaki kecil yang suci nan polos—berjalan ke arahnya dengan kedua tangan bernodakan cairan merah yang lengket.

"James!" serunya. Ia menaruh keranjangnya di atas tanah, berlutut di hadapan anak lelaki itu dan meraih kedua tangannya. "Apa ... ini?"

"Aku tidak tahu, Nanna." Suara kanak-kanaknya mendayu. "Ini yang dikeluarkan dari sayap burung yang kutemukan di halaman belakang?"

Wanita itu mendesah. Ia mencucikan kedua tangan anak lelaki itu, kemudian melanjutkan proses mencuci bajunya.

Ia berusaha untuk tidak menghiraukan sepasang sayap burung yang terpisah dari tubuhnya di halaman belakang. Biarkan pria tua pengurus halaman saja yang mengatasinya.

James merupakan lelaki kecil yang suci nan polos di matanya. Ia akan selalu seperti itu.

Karena itu dirinya nyaris pingsan ketika beberapa tahun kemudian, ia melihat tuan rumah menyabet betis mulus James di ruang tengah.

Kedua tangannya bergetar. Ia menanyakan pembantu lain yang ia temui di koridor, "Apa yang James kecil lakukan hingga ayahnya merasa hal itu pantas dilakukan?"

Gelengan. Hanya itu jawabannya.

Malamnya, wanita itu menyelinap masuk ke ruang tidur James.  Ia menggendongnya, membawanya keluar melewati pintu kamar dan gerbang rumah.

"Ayahmu lelaki yang kejam," bisiknya di bawah kegelapan malam, berlari menjauhi kediaman megah yang ia tumpangi. "Nanna akan mengurusmu, Sayang. Tenang saja."

Tangan kecil James meraih kerah seragam wanita itu. Kedua matanya yang berkaca-kaca membulat, menatap sosok yang mengurusnya selama lima tahun ini. Anak itu terbangun.

"Nanna, aku takut."

"Tidak ada yang perlu ditakuti, Sayang. Nanna—"

Dor!

TatkalaWhere stories live. Discover now