- Mimpi Buruk -

20 5 0
                                    

Kira-kita 20 menit sudah berlalu, tapi sosok yang seharusnya mengantarkan sop sayur yang dibeli Nina belum kunjung datang. Gadis itu mendesah sebal. Sedari tadi manik matanya menatap jam yang tertera di ponselnya. Arah pandangannya kini tertuju pada pintu utama tempat kos yang ia diami, terbuka dan memperlihatkan jalanan kosong sore itu.

"Mana, sih?" gumamnya. Suara kecil dalam dirinya berbisik.

Kalau Bita, pasti dia bakal nunggu sampai kapan pun, ya?

Gadis itu mendengus. Masa lalu Bita terputar kembali dalam kepalanya. Aneh. Sudah entah berapa dekade Bita yang dulu mati, tetapi tingkahnya masih terus saja sama hingga di kehidupan barunya yang sekarang. Variabel apa lagi yang mungkin tersangkut hingga kehidupan setelahnya?

"Oh, Nina, ya?"

Nina mendongak. Di sampingnya berdiri gadis bersurai hitam legam dengan jaket jin khasnya. "... Abel, 'kan?"

Gadis itu tersenyum simpul. Ia duduk di sisinya, membuat kursi kayu panjang yang ringkih itu bersuara. "Ngapain lu?"

"Nunggu order-an makanan aja, sih." Gadis kita tersenyum kikuk. "Lu?"

"Nungguin cowok gua," senyum Abel terlalu lebar sampai-sampai kedua matanya ikut tersenyum, "mau jalan, hehe."

Nina mengangguk kecil. "BTW," Nina menatapnya dalam-dalam, "kamu-eh-lu lagi banyak tugas, ya? Semalem kayaknya aku sempet denger kamu mainin lagu di lantai bawah."

"Eh sorry, kekerasan, ya?" Dahi gadis itu yang berpoleskan bedak sedikit berkerut. "Akhir-akhir ini gua susah banget tidur. Mimpi buruk mulu, jadi milih buat gak tidur aja."

"Mimpi buruk?"

"Lu harus tahu, sih." Gadis itu berdeham, seakan-akan ia akan menyampaikan pidato superpanjang di hadapannya. "Jadi entah kenapa, tiap malem gua ngerasa gua tuh di atas pasir. Mataharinya tuh teriik banget, dan rasanya haus banget. Kering."

Nina menopang dagunya ke sisi sofa. "Terus, terus?"

"Terus ... gitu aja."

"Hah?"

"Keadaannya gitu terus ampe gua bangun." Suara gadis itu melemas. "Bener-bener rasanyakayak sebagian jiwa gua kesedot sama apapun yang ada di sekeliling gua. Kayak, rasanya berat dan yang berat itu dipaksa ketarik---"

"Gua gak ngerti maksud lu," potong Nina, "tapi kayaknya gak enak banget."

"Ya 'kan?" Abel mengangguk antusias. "Cowok gua gua ceritain gitu ketawa doang."

Nina tertawa canggung. Mendadak ponselnya bergetar. "Bentar," gadis itu beranjak, "kayaknya pesenan gua udah dateng."

Tanpa menunggu jawaban, Nina berlari ke arah pintu. Benar saja, seorang pria yang masih mengenakan helm dengan jaket seragam hijau berada di depan pagar. Nina menyapanya, membayarkan makanannya, kemudian berterima kasih. Belum sempat ia berbalik, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Terlihat seorang pemuda seumuran dengannya tengah menyetir mobil.

"Bel." Nina yang baru saja kembali masuk menutup pintu. Dilihatnya Abel yang berkutat dengan ponsel kini mendongak. "Itu kayaknya cowok lu udah di depan."

"Oh iya?" Abel beranjak, kemudian membenarkan posisi celananya. "Thankies Nin, aku pergi dulu, ya!"

Nina tersenyum kecil kemudian mengangguk. Tak sengaja pandangannya menangkap gantungan kunci berbentuk ilustrasi kelapa mungil di tas selempangnya. "Gancinya lucu."

"Oh ini?" Abel terhenti di depan pintu, memperlihatkan gantungan kuncinya. "Cowok gua ngasih beberapa hari yang lalu. Lucu, 'kan?"

Nina mengangguk kala tangannya mengangkat ponselnya, pura-pura menggaruk wajahnya. "Hati-hati di jalan!" ujarnya, kini menoleh ke arah layar ponselnya yang mati. Terlihat pantulan wajah Abel yang tersenyum, kemudian berbalik.

Tubuh Nina mendadak hilang keseimbangan. Suara tubuhnya beradu dengan kursi kayu tersengar keras.

Dirinya sudah terhisap.

---

Cahaya matahari yang terik mengeringkan kedua bola mata sosok wanita yang terkapar di atas pasir. Kulitnya melepuh, dan sebilah kayu yang tebal menimpa tubuhnya.

"Jangan pergi!" teriaknya. Kepalanya yang tertoleh ke arah laut menatap sosok pria yang bertelanjang dada menatapnya dari kejauhan. "Gil, aku serius, kau akan mati! Aku akan mati juga jika kau meninggalkanku di sini!"

"Aku pergi ataupun tidak kau akan mati!" Pria itu terus berjalan mundur ke arah kedalaman laut. "Cepat atau lambat, kita akan mati! Pulau ini kosong, Sayang. Maafkan aku!"

"Gil!" Wanita itu terbatuk. Butiran pasir mengerubungi pipi dan bibirnya. "Kumohon!"

"Aku akan mencari pertolongan!"

Pria itu membalikkan tubuhnya, kemudian berenang menjauh, meninggalkan wanitanya yang lumpuh dan tak berdaya dengan sebuah kelapa yang ukurannya bahkan tak sebesar kepalan tangan.

---

"... Oke."

Nina mengerjapkan matanya. Untung kejadian itu berlangsung cepat. Kaki kanannya kesemutan, sebuah benjolan timbul di sisi kepalanya yang beradu dengan dinding, dan langit dan lampu-lampu di luar sudah menyala.

Pintu tiba-tiba terbuka. "... Kok lu masih di sini, Nin?"

"Huh?" Gadis kita membetulkan posisi duduknya. Di hadapannya kini Abel, dengan suatu hal yang ganjil di wajahnya. "Udah pulang, Bel?"

"Iya," jawabnya datar. Gadis itu duduk di sampingnya. Baru saat itu Nina sadar kedua matanya bengkak. Abel melepas tas selempang yang tergantung di bahunya, kemudian memperlihatkan gantungan kunci kelapa tadi pada gadis kita. "Lu suka sama ganci ini, 'kan?"

"Kenapa?

"Ambil aja." Abel melepaskan gantungan kunci itu dari ritsleting tasnya, mengambil tangan Nina, kemudian meletakkan gantungan kunci itu ke tangan Nina. "Aku sama Ragil udah putus."

Abel beranjak, kemudian meninggalkan gadis berkacamata kita. Nina menelengkan kepalanya.

"... Gak jelas."

TatkalaWhere stories live. Discover now