- Cinta Pertama -

30 6 2
                                    

"Apa tadi nama tempatnya?"

"Uh, Ciper?"

"... Masa, sih?"

"Nin, kalau kubilang nama tempatnya Cinta Pertama kamu gak bakal dateng, please."

"... El, pelanin aja motornya." Gadis kita memutar bola matanya. "Denger namanya aja udah geli, gimana tempatnya coba?"

"Ih, banyak tempat fotonya!" pekik Ellie, surai karamelnya beterbangan ditiup angin. "Sekali ini aja, ya? Ya? Ya? Lagian udah mau nyampe juga, wlek!"

Gadis kita, Nina, mendesah kesal. Keningnya ia tempel di punggung. Sudah berapa kali gadis yang memboncengnya ini mengajaknya ke berbagai tempat? Entah, ia tidak pernah menghitungnya. Mulai dari cafe kekinian, restoran mahal dengan menu serba daging, pecel lele di pinggir kampus yang hadir tiap malam pun tak absen ia kunjungi.

"Kayaknya kita bakal lama juga di sana Nin, kayaknya mau hujan. Sabar-sabar, ya!" Ellie mempercepat laju motor, memaksa Nina memeluk tubuh gadis itu lebih erat.

Derum motor Ellie berhenti di depan sebuah cafe kecil yang cukup riuh. Warna pastel mendominasi dinding dan tiap hiasan yang ada. Nina bergidik menatapnya.

"El, kataku—"

"Ayo kita masuk!" Ellie menarik lengan Nina, membuka pintu kaca tepat ketika rintik hujan mulai terdengar. Gadis kita menoleh ke belakang, ke arah jalan yang padat akan mobil dan pemotor yang berhenti sementara untuk mengenakan jas hujan. "Nin, itu di pojok ada tempat kosong! Yuk, yuk, yuk!"

Lusinan pasang mata menatap ke arah mereka. Nina menundukkan kepalanya. Kakinya mengekori tiap langkah tungkai jenjang Ellie. Tahu-tahu saja Ellie sudah menarik salah satu kursi.

"Silakan, Tuan Putri." Gadis itu mengedipkan sebelah matanya.

"... Terima kasih." Nina mencengkeram punggung kursi itu, mendudukinya dengan pandangan tertuju pada vas bunga kecil di tengaj meja. "... Emang kamu percaya sama yang namanya 'cinta pertama'?"

"Huh, tumben kamu ngomongin hal kayak gitu duluan." Ellie yang kini telah duduk di hadapannya bertopang dagu. "Menurut kamu gimana?"

"Yah," Nina mendongakkan wajah, menyadari mereka berada di bagian terdalam cafe sehingga ia tak dapat melihat suasana luar, "there's always a first time for everything."

"Have you?" Sudut bibir Ellie menukik.

Nina mencebik. Sebelah tangannya menopang dagu, mengikuti gerak tubuh Ellie. "... Cinta pertama tuh kalau dulu pas masih kecil biasanya dibarengin, apa namanya, cinta pada pandangan pertama gak sih?"

Gadis yang ditanya berdengung lama. "Maybe."

"Waktu itu aku pernah denger kalau cinta pada pandangan pertama itu bukan cinta, itu nafsu." Nina tersenyum tipis.

"Ah, Nina." Ellie tertawa kecil. "Justru cinta yang bikin seseorang bernafsu, bukan?"

Tangan kanannya gadis bersurai karamel itu diangkat, hendak menarik perhatian salah satu pelayan yang berlalu-lalang. Nina menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi. "Entah," jawab gadis berkacamata itu sekenanya, membuat senyum sahabatnya melebar.

"What do you know about first love anyway?" Ellie menatapnya skeptis.

"I don't need to know anything about it." Gadis kita membuang muka, sekali lagi mengundang tawa dari temannya.

"Kamu tuh selalu gitu, deh. Apatis. Hidup tuh dirasain, dinikmatin!" Ellie akhirnya menyerah, ia kembali menurunkan tangannya. "Anjir pegel, rame banget sih ...."

"Orang-orang tuh," Nina kembali mencondongkan tubuhnya ke depan, "pengennya first love mereka tuh last love mereka juga gak sih?"

"Aww, so you're that kind of gal?" Ellie menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Trust me, nine out of ten men you'll find won't fulfill that criteria."

"Well, I understand your point of view, but—"

"But," Ellie berdeham, "I hope you'll find your first love ASAP, tho."

Nina mendengkus. Belum sempat ia membalas, seorang pemuda menghampiri meja mereka.

"Maaf lama." Lengan pemuda itu menjulur ke depan, meletakkan dua buku menu kala pipi Nina bersemburat merah akan aroma musk-nya. "Pesan apa?"

Ellie memberikan pemuda itu seulas senyum manis. "Ada rekomendasi?"

Nina menarik kerah turtleneck-nya, menutup pipinya yang menghangat.

Yah, kalau tingkahnya masih seperti ini pada tiap lelaki yang ka temui, mana mungkin ia bisa punya seseorang untuk diajak berkencan.

TatkalaWhere stories live. Discover now