- Kutukan -

39 9 3
                                    

Panas, kain lembap, dan aroma teh melati membangunkan gadis kita. Tangan kanannya yang terkepal berkeringat. Sorot pandangannya rabun. Sebilah cahaya yang terpancar dari jendela kosan berlapis koran menjadi satu-satunya sumber penerangan kamar.

"Bita ...." Perlahan gadis kita duduk, tangan bertumpu di sisi kasur. Namun terdapat benda padat yang justru menyambut. Ia membuka kain yang menyelimuti, kacamatanya ada di sana. Ia mengambilnya, perlahan mengenakan kacamata berlensa bundar itu. Kotor, semua terlihat lebih jelas hanya saja sebagian besar buram. Yah, setidaknya ia dapat melihat apa yang ada di nakas samping kasurnya.

Ia menoleh. Terdapat secangkir teh dengan sticky note yang tertempel, Maaf gak kutemenin, ada kelas pagi. Minum tehnya ya kalau udah bangun! -Bita.

Gadis kita menangkup cangkir itu. Semburat kehangatan menyebar di kedua telapak kanannya. Ia menyeruputnya perlahan. Kedua mata tepejam menikmati teh itu.

Kadar gulanya sama dengan yang ia gunakan di kehidupan sebelumnya.

"... Gak heran, sih." Gadis kita berdeham, meletakkan cangkir itu kembali ke tempatnya. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, menempelkan punggung tangannya ke dahi. Tidak hangat, mungkin karena ia hanya melihat sepasang mata itu dan langsung mengalihkan pandangannya. Embusan napas berat terlepas dari mulutnya.

Ia benci kutukan yang melekat pada dirinya ini. Namun setidaknya, ada beberapa hal yang kini ia ketahui tentang tetangga kamarnya. Oh, dia mungkin harus bertanya juga apakah gadis itu suka dikelilingi anak-anak atau tidak, terutama jenis anak yang ....

Bita memang selalu terbangun pukul tiga pagi, melakukan rutinitas entah apa di dalam kamarnya. Ia yang pasti akan gadis kita sapa sebelum tidur, seperti malam tadi. Sudah berbulan-bulan mereka menjadi tetangga, selama itu ia bisa tidak melihat pantulan matanya di cermin lorong jendela.

Namun karena itu sudah terjadi, kini ia tahu apa yang tetangga kosannya alami hingga ia seperti sekarang. Yah, tentunya, ada bayaran yang harus ia lunasi.

Kakinya mati rasa, dan mungkin ia akan mengalami itu hingga beberapa jam lagi. Ia pun meraih ponselnya yang tergeletak di nakas, tepat di samping cangkir teh tadi. Jemari lentiknya mengetikkan frasa singkat di ruang percakapan teratas.

Ellie

El, aku sakit |

| Oh ya? Rasanya udah lama banget gak sakit. Kamu ngapain?

| Mau kusamperin?

Izin aja gak bisa ikut kelas |

Gak bisa jalan aku |

| Abis kelas aku ke sana, oke?

| McD atau KFC?

Gak usah |

| Oke, dua-duanya. See you~

"Enakan bubur aja padahal. Tapi mana ada ya orang jualan bubur jam segini?" Lagi, gadis kita mengembuskan napas berat. "... Tapi seenggaknya aku beruntung lagi, ya?"

Manik matanya mengarah ke layar laptopnya yang masih terbuka di meja. Pantulan dirinya tercermin di sana: rambut sebahu yang acak-acakan, kantung mata yang sangat terlihat, dan kening yang berkerut memikirkan peluru yang menembus kepala Nanna saat berlari beberapa dekade lalu.

"... Aku beruntung," bisiknya lagi, meyakinkan dirinya sendiri.

Sekelebat ingatan menghampiri pikirannya.

Darah.

Teriakan.

Perempuan kecil yang malang.

Ia meraih ponselnya lagi.

Ellie

El, ke sini sekarang aja boleh? Aku takut |

---

Halo~

"Gadis kita" di sini tokoh utama kita, ya. Aku belum nemu nama yang pas aja buat dia, ehehehehehe. Oh, dan cerita ini rencananya bakal berkesinambungan dari satu bab ke bab lainnya. Dan mungkin fokusnya bukan ke menceritakan masa lalu atau kemampuan si tokoh utama, tetapi aku mau coba fokusin ke gimana cara dia bereaksi sama masa lalu orang lain yang secara gak sengaja dia lihat.

Begitchu.

Semoga harimu menyenangkan~

P.s. Tarot card yang digunakan di bab ini

 Tarot card yang digunakan di bab ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
TatkalaWhere stories live. Discover now