- Kembali -

20 4 3
                                    

"Dik, kita last game, ya."

"Hah?" Seorang pemuda yang tengah meregangkan sendi jemarinya di hadapan monitor menelengkan kepala, seakan-akan yang berbicara berada di sampingnya. "Lanjutlah, baru jam satu. Masih sore."

"Cewek gua marah, lanjut besok pagi ajalah, ya?"

Lelaki itu mendengus. Ia melemparkan pandangannya ke langit-langit kosnya yang kebiruan--lampu LED yang ia beli secara online cukup bagus ternyata--kemudian memperbaiki posisi headset-nya. "Kenapa sih cewek suka minta ditemenin sleep call?"

"Mager ah gua jawabnya. Nanti galau lagi lu, gak bisa menang. Masa last game kalah."

"Apaan, sih." Sosok yang dipanggil Dik itu mengarahkan tetikusnya ke arah kepala karakter yang di hadapannya.

Headshot.

"Gua mulu yang gendong lu, gendong baliklah." Dika tertawa kecil. "... Ta*. Siapa ya yang gua gendong terus tidurnya sama cowok lain?"

"... 'Kan? Last game, habis ini lu tidur."

"Padahal keinginan gua simpel banget, loh."

Suara desahan pasrah terdengar dari mulu lawan bicaranya. "Dika."

"Kenapa coba gua nerima dia waktu itu?" Duka mencondongkan punggungnya ke depan, berusaha mencari satu musuh terakhir yang membawa bom entah ke mana. "Gua udah jadi support system dia selama ini. Dia mau apapun, gua beliin! Dia mau ke mana, gua anterin!

"Gua kurang apa sih, Gar? Kenapa sih dia mau sama jamet antah-berantah yang, anjir gua aja gak bisa bayangin bau badannya gimana, ugh. Comberan."

"Gak salah sih, downgrade banget dibanding lu--Dik, itu Dik. Kejar, kejar, kejar! NICE!"

"Dah, sana ngapel. Mau tidur gua."

"Thank ya Dik, the best sih lu. Moga turnamen mingdep menang, ya. Duluan!"

Suara notifikasi Darren meninggalkan voice chat terdengar. Dika beranjak, menanggalkan headsetnya, mendekati ranjangnya yang berantakan lalu menendang benda itu tanpa alasan.

Di ruangan sempit nan remang-remang itu ia berdiri dengan kedua kanan terkepal erat.

"Dik, janji ya kamu bakal nemenin aku terus?"

Dika membuka lemari bajunya, melempar bajunya dan meraih sebuah kotak kaleng yang tersembunyi di baliknya.

Ia membuka benda itu. Ia menatap lamat robekan-robekan kertas di dalamnya.

Geliginya menggigit bibir. Ia mengambil robekan karton dengan tulisan tangan yang akan ia rindukan entah sampai kapan.

Dika berjalan cepat, keluar dari kamar kosnya kemudian menghampiri kamar yang ada di seberangnya. Tanpa aba-aba ia membuka pintu, berteriak, "Yan, gua pinjem korek, ya!"

Lelaki itu bisa mendengar sosok yang ia teriaki tengah mendengkur di atas ranjang. Dika tidak menunggu jawaban. Diambilnya korek api di meja belajar temannya.

Ia membanting pintu kamar, tidak peduli temannya akan terbangun atau tidak. Kaki jenjangnya mengarah teras.

Malam itu berisik, masih banyak yang terbangun, berbicara ataupun berteriak entah karena apa. Namun Dika tuli sementara, ia berada di dalam dunianya sendiri.

Ia berjongkok di ujung teras, sekali lagi melihat robekan kertas yang ia ambil tadi.

Master Degree - Edinburgh with her.

"B*tch."

Korek api dinyalakan, dan kertas itu terbakar habis.

---

AKU TIDAK SABAR DENGAN HUKUMAN YANG MENANTIKU, TETAPI SEKARANG---

TatkalaWhere stories live. Discover now