Bab 1

17 5 0
                                    

Good or bad, you will always reap what you sow – you will always harvest the consequences of your choices. (Randy Alcorn)

"Ada satu hal yang masih belum kamu ungkapkan padaku, Bas!"

Ucapan dengan nada menuntut itu keluar dari bibir Marianna yang kecokelatan. Sepertinya nikotin sudah jadi teman setia yang menemani perempuan itu bekerja menuntaskan kasus-kasus dan persoalan hukum kliennya. Sahabat sekaligus pengacara keluarga itu datang berkunjung ke rumah besar untuk menyerahkan beberapa dokumen yang membutuhkan tandatanganku.

Aku menyebut rumah besar ini sebagai tempat tinggal sementaraku, alih-alih mengatakan rumahku. Karena rumah ini memang bukan milikku, tapi properti milik Tengku Anwar Firdausi, ayahku. Masa kecilku memang di sini bersama ibu, Kak Binsar juga ayah, pria yang menjadi penguasa rumah ini. Lelaki yang baru beberapa minggu lalu menutup mata setelah berada di ruang ICU selama beberapa hari akibat serangan jantung dan komplikasi penyakit yang dia derita. Orang tua yang masih meninggalkan persoalan untuk anaknya, meskipun tanah merah sudah memeluk erat jasadnya.

Aku bersyukur ayah tidak mewariskan rumah ini padaku, tapi properti ini dia wariskan kepada cucunya. Seorang cucu yang hingga saat ini, eksistensinya masih menjadi pertanyaan besar. Namun, entah dari mana keyakinan itu datang, tanpa sadar merasuk diam-diam dalam jiwaku. Keyakinan yang mengatakan bahwa Tengku Anwar Firdausi memang memiliki seorang cucu. Kini, demi menghormati keinginan orang tua itu, sudah jadi tugas dan tanggung jawabku untuk membuktikan keyakinan itu dengan cara apapun. Sebab aku punya andil besar akan keberadaannya.

"Apa maksudmu, Marian?"

"Jangan coba-coba menghindar, Bas! Kamu tahu betul apa maksudku! Ucapanmu saat di kantorku beberapa minggu yang lalu terus menerus mengganggu pikiranku," jawab Marianna setengah menggerutu.

"Ucapanku yang mana? Waktu itu banyak kata-kata yang aku ucapkan. Sekarang aku sudah lupa semua!" Kembali aku menggoda Marianna dengan mementahkan ucapannya. Perempuan itu dulu adalah teman sekolahku, sekaligus calon kakak ipar, sebelum Kak Binsar meninggal dunia.

"Kamu memang menyebalkan, Bas! Baik, kalau memang kamu mau aku yang mengingatkan. Waktu itu kamu bilang sudah punya anak, tapi tidak tahu dimana keberadaannya. Sampai sekarang aku gagal memahami maksud ucapanmu itu."

Marianna berbicara dengan raut muka serius. Pandangan matanya yang tajam ke arahku penuh dengan pertanyaan. Ada kerutan kecil menghiasi dahinya yang agak lebar. Sementara jemarinya mempermainkan pulpen yang sejak tadi ada di genggamannya. Aku tersenyum dalam hati karena berhasil membuat perempuan awal lima puluhan di hadapanku itu berpikir keras.

"Ah, jangan merendah begitu, Marian! Masa sih, kamu nggak punya dugaan maksud omonganku?" selorohku, mencoba memberi kesan tidak serius akan apa yang pernah aku katakan padanya.

"Aku memang punya banyak dugaan, tetapi sepertinya nggak ada yang cocok kalau melihat latar belakang hidupmu yang selama ini aku pahami," gumam Marianna.

"Apa dugaanmu, kalau aku boleh tahu? Kenapa bisa nggak cocok dengan keadaaku?"

"Salah satu pikiran yang singgah di otakku, kamu punya anak dengan salah satu kekasihmu yang sudah pergi meninggalkanmu. Sementara kamunya tidak tahu siapa dan dimana keberadaan wanita itu."

Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan Marianna. Perempuan itu mengerutkan dahi dan menatapku dengan tajam. Bibirnya terkatup rapat tanpa senyuman.

"Lalu, ketidakcocokannya dimana?"

"Karena aku yakin, kamu 'tuh laki-laki bertanggungjawab yang nggak mungkin menyepelekan urusan sepenting itu. Kalau pun memang benar begitu, kamu nggak akan membiarkan anak itu lahir di luar nikah apalagi menelantarkannya," ujar Marianna tegas.

LUKISAN TERAKHIR Where stories live. Discover now