Bab 4

11 4 0
                                    

Sometimes you separate at the wrong time to meet at the right time.(Rohit Totlani)

Laksmi Pramita Adhyatsa, nama yang sudah terpatri dalam benak itu membawaku kembali pada masa tiga dasa warsa ke belakang. Nama indah yang sesuai dengan perwujudan pemiliknya. Laksmi seorang gadis enerjik yang penuh vitalitas hidup dengan wajahnya yang memiliki kecantikan tersendiri, perpaduan antara Jawa dan China. Sepasang matanya yang indah berwarna kecokelatan berbentuk seperti buah almond. Dia mahasiswi jurusan ekonomi akuntansi yang tempat kostnya bersebelahan dengan rumah kontrakanku. Sebuah rumah kontrakan sederhana yang dihuni para bujang, mahasiswa jurusan seni rupa berasal dari berbagai daerah yang berbeda.

Aku jatuh cinta pada gadis manis itu sejak pandang pertama, meski aku enggan mengakuinya dan cenderung mengabaikannya. Diriku yang terbiasa bersikap seenaknya dan cuek saat itu tentu saja sama sekali tak menarik perhatiannya. Aku tahu kalau Laksmi berasal dari keluarga yang berkecukupan, walaupun penampilannya tidak berlebihan, tapi tetap terlihat elegan dan berkelas. Di mataku yang suka sekali memperhatikan segala sesuatu secara detail, hal itu sedikit membedakannya dari gadis-gadis teman satu kostnya.

Jatuh cinta pada gadis cantik itu sah-sah saja, pikirku waktu itu. Akan tetapi untuk menjalin hubungan kasih, itu urusan lain. Urusan, yang menurutku, sering kali malah menambah beban dan permasalahan. Lagian mana ada sih gadis baik-baik, punya pikiran waras, juga kaya raya yang akan melirik bujang calon seniman yang belum lulus, dengan masa depan tidak jelas sepertiku? Walaupun sebenarnya kebun kopi ayahku berhektar-hektar, tetap saja aku tak punya apa-apa karena kekayaan itu bukan milikku. Aku belum jadi apa-apa, juga tidak punya apa-apa, selain kedua tangan dan otak encer yang ada dalam tempurung kepalaku. Kenyataannya, memang masa depanku masih belum jelas!

Jadi sebelum aku kecewa, aku mundur dari kompetisi memperebutkan perhatian gadis manis tetangga sebelah kontrakanku itu. Aku hanya mencemooh teman-temanku yang berlomba-lomba dengan caranya masing-masing untuk menarik perhatian Laksmi. Namun, tak satupun yang berhasil.

Suatu saat, mungkin sudah nasib, aku jumpai gadis itu sedang tekun membaca sebuah buku berbahasa asing tentang strategi bisnis di ruang baca perpustakaan kampus. Waktu itu aku sedang mencari referensi untuk tugas essay yang mengupas perkembangan seni dan para seniman abad pertengahan. Ketika itu, sebagai mahasiswa institut seni, selain memiliki bakat dan keterampilan, aku harus punya wawasan luas tentang perkembangan seni dalam negeri maupun manca negara. Menghabiskan waktu di beberapa perpustakaan kampus universitas yang ada di kota pelajar ini, adalah aktifitas utamaku selain kuliah, membuat sketsa dan melukis.

Aku dan Laksmi saat itu duduk berseberangan di sebuah meja panjang di samping jajaran rak buku yang ada di lantai dua perpustakaan itu. Meskipun sering berpapasan di jalan saat kami pergi atau pulang kuliah, kami belum pernah bertegur sapa. Kami seperti dua orang asing yang tidak saling kenal. Aku lebih suka begitu. Meskipun tanpa setahu gadis itu aku sering memperhatikannya. Menatap detail wajahnya diam-diam hingga bisa kutuangkan dalam goresan pensil arang di lembaran kertas kosong yang selalu ada dalam ransel kumal milikku.

Sejak saat itu, dengan diam-diam aku catat jadwal kunjungannya ke perpustakaan, supaya aku bisa datang di waktu yang sama, bila sedang tidak ada perkuliahan atau kegiatan penting lainnya. Lama kelamaan kami menyadari kehadiran masing-masing. Dengan senyuman kami bertukar sapa, walau tanpa kata. Dalam diam kami pun menjalin keakraban.

Sampai suatu saat di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh, teman-teman satu kostnya memberikan pesta kejutan sederhana. Meskipun sederhana tetap saja ramai dan berisik hingga mengganggu konsentrasiku bekerja menyelesaikan lukisan pesanan milik salah seorang teman di kampus. Aku hentikan pekerjaanku. Percuma saja kalau diteruskan, karena hasilnya pasti tak sesuai harapanku. Sementara, teman-teman sekontrakan sepertinya sudah bergabung dengan penghuni rumah kost sebelah yang sedang berpesta.

LUKISAN TERAKHIR Where stories live. Discover now