Bab 10

6 1 0
                                    

What makes you a man is not the ability to have a child, it's the courage to raise one. (Obama)

"Hubungan mereka tidak ada masalah. Sampai sekarang, Astuti masih bekerja di perusahaan Papanya sebagai wakil kepala devisi desain dan produksi, selain jadi perancang baju freelance untuk beberapa klien tertentu." Perkataan Ambarwati itu membuatku tenang.

"Syukurlah kalau begitu. Maaf jika terlalu cemas, karena aku belum pernah menjadi seorang ayah dan tiba-tiba saja sekarang punya anak perempuan sudah dewasa, mandiri, cantik lagi! Terus terang, aku tidak ingin kehadiranku mengacaukan hubungan kekeluargaan yang selama ini kalian miliki dengan Hadiningrat Notokusumo."

"Pak Bastian, eee...boleh aku memanggilmu Ayah 'kan?" Ucapan Astuti itu membuatku terharu. Ada ketulusan dan kepercayaan dalam sorot matanya.

"Terserah saja! Yang penting Astuti senang."

"Ehm, Ayah Bastian tidak usah mencemaskan hubunganku dengan Papaku. Hubungan kami bertiga, terutama Mama dan Papa sekarang jauh lebih baik dari pada saat mereka berdua masih jadi suami istri. Hubungan mereka denganku juga tidak berubah, aku masih anak Hadiningrat Notoksumo dengan Ambarwati meski hanya sebatas akte kelahiran saja," ujar Astuti dengan suara lembutnya yang terdengar merdu di telingaku.

"Sekarang, setelah tahu kamu ternyata juga memiliki seorang Ayah lain, selain Papa yang membesarkanmu, Hadiningrat Notokusumo, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku ingin tahu. Aku tak tahan untuk tidak tersenyum melihat kilatan yang menari di mata Astuti.

Sepasang mata indah yang sewarna dengan kopi, coklat kehitaman. Mata itu memang persis sepasang mata milik Tengku Anwar Firdausy, Ayahku! Kini kedua mata itu menghujamku, masih dengan beribu pertanyaan di sana.

"Ah, apa yang akan kulakukan? Ya, tentu saja aku ingin mengenal Ayah Bastian lebih dalam. Apa yang membuat Ayah jadi pendonor sperma dan bukan jadi pendonor darah saja? Mengapa Ayah tidak menikah dan punya anak secara wajar seperti orang-orang lainnya? Ehmm, lalu apa pekerjaan Ayah? Apa impian terbesar Ayah? Itu sebagian kecil dari apa yang ingin aku tahu tentang Ayah!" kata-kata berupa pertanyaan itu keluar dari bibir Astuti bagai tembakan peluru senjata otomatis. Cepat dan beruntun. Aku tertawa kecil mendengarnya.

Ada perasaan suka cita yang tak terkatakan. Sekarang ada orang yang peduli dengan diriku juga impian-impianku. Rasa syukur membuncah dalam dadaku seolah mau meledak. Ya Tuhanku, tolong tambah sisa umurku agar aku bisa berbagi kasih sayang dengan anakku. Doaku dalam hati, sadar bahwa hanya Dia yang punya kuasa menentukan hidup dan matiku.

"Astuti, mana kesopananmu! Rasa keingintahuanmu itu sudah keterlaluan! Tak seharusnya kamu mengorek masalah pribadi Ayahmu, apalagi di hari pertama kalian bertemu!" teguran itu diucapkan Ambarwati dengan suara dan tatapan tajam pada Astuti.

"Ah, biarkan saja dia ungkapkan rasa ingin tahunya. Itu sudah haknya sebagai anak yang ingin mengenal ayahnya lebih dekat. Aku harap sebagai ibunya, kamu tidak keberatan dengan kedekatan kami sebagai ayah dan anak yang pastinya akan terjalin cepat atau lambat," sahutku pada Ambarwati. Akhirnya wanita itu hanya menatap anak perempuannya dengan wajah sedikit kesal.

"Aku sama sekali tak keberatan kalau kamu sendiri sudah membuka peluang ke arah itu, Bastian. Boleh aku panggil nama saja 'kan? Menurutku, Astuti sudah dewasa dan seharusnya dia sudah tahu bagaimana mesti bersikap."

"Iya Mama, aku tahu. Don't worry-lah! Nah, Ayah, kapan Ayah akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi?" Astuti bertanya lagi sambil menatapku dengan mata coklat kopinya.

"Pertanyanmu banyak, Tuti. Ayah bingung mana yang harus dijawab duluan."

"Ah, Ayah. Nggak usah bingung, ini bukan wawancara kerja! Bagaimana kalau Ayah jawab dulu, alasan apa yang menyebabkan Ayah mendonorkan sperma waktu itu."

Aku sudah mengantisipasi pertanyaan itu. Akan tetapi, aku tidak mengira akan datang secepat ini dari mulut Astuti. Pertanyaan itu membuatku berpikir untuk suatu saat nanti mengetahui mengapa ibunya menggunakan sperma orang lain untuk mendapatkan anak, padahal dia sudah punya suami. Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Dunia semakin tua, membuat penghuninya melakukan hal-hal ekstrim yang tak pernah terpikir sebelumnya.

"Menjawab pertanyaanmu itu sama saja dengan menggali lagi kehidupan Ayah di jaman jahiliah!"

Aku bicara dengan nada sarkas. Agak berat juga mengungkapkan keburukan kita di masa lalu apalagi di depan orang yang baru kita kenal. Sementara, Astuti malah tertawa kecil mendengarnya. Suara tawa gadis itu melenyapkan keresahanku.

"Jangan tertawa! Memang waktu itu kehidupan Ayahmu ini ada di periode jaman jahiliah. Jaman di mana Ayah hidup hanya untuk mencari dan memburu materi juga kesenangan, berpetualang ke negara-negara kelahiran para seniman terkenal dunia. Saat itu yang ada hanyalah menikmati hari ini karena besok belum ada, sedangkan yang kemarin sudah lewat! Sedikit banyak, Tante Marianna pasti sudah menceritakan bagaimana kehidupan dan pekerjaan Ayahmu selama ini."

"Iya, Marian bilang kamu seorang seniman. Punya bisnis juga di bidang jual beli benda-benda seni untuk kolektor maupun di pajang sebagai pelengkap interior. Sepertinya dirimu dan Astuti punya passion di dunia yang sama. Dunia seni!" kali ini Ambarwati yang menyahuti ucapanku.

"Marian memang benar. Aku yakin kalian pasti juga tahu bagaimana kehidupan awal seorang seniman yang belum punya nama. Mereka harus kerja serabutan untuk menyambung hidup. Aku tidak mau pulang dengan kegagalan karena menggeluti dunia seni dan mendapat cemooh dari Ayahku yang tidak mendukungnya. So, aku jalani saja meski penuh onak dan duri. Dan pada saat keberhasilan kuperoleh, akupun menikmatinya sampai hampir lupa diri. Saat itulah yang aku sebut jaman jahiliah."

"Lantas apa hubungannya jaman jahiliah dengan niat Ayah mendonorkan sperma waktu itu?" celetuk Astuti.

"Sebenarnya tidak ada hubungannya. Hanya alasan untuk menutupi ketakutan Ayah saja waktu itu. Takut gaya hidup yang bebas terancam, takut terikat dan mengikatkan diri pada seseorang dalam satu lembaga yang disebut perkawinan. Sebab, kehidupan perkawinan orangtua Ayah, Kakek dan Nenekmu sama sekali bukan contoh yang baik. Bahkan, cenderung membuat Ayah trauma sampai sekarang!"

"Itukah alasan yang membuat Ayah tidak menikah sampai sekarang?"

"Ya, bisa dibilang begitu. Ayah takut akan seperti kakekmu yang cenderung temperamental bahkan cenderung abusive . Ayah 'kan anaknya, jadi sedikit banyak sifat-sifatnya pasti menurun pada Ayah! Ayah tidak mau punya anak dan istri karena takut membuat mereka menderita akibat sikap dan perbuatan Ayah!"

"Tapi Ayah kan bukan Kakek! Pastilah Ayah punya kepribadian sendiri yang berbeda dengan Kakek!" lagi-lagi Astuti bersuara.

"Iya, Ayah tahu! Tapi, tetap saja Ayah memutuskan untuk tidak menikah. Ayah lalu mendonorkan sperma, sebelum melakukan tindakan vasektomi. Meskipun tidak bisa merawat anak sendiri, Ayah ingin, siapapun yang memanfaatkan sperma donor dan bisa berhasil memperoleh anak dengan program bayi tabung itu bisa merawatnya dengan baik. Ayah akan cukup senang mengetahui bahwa di luar sana ada anak Ayah yang jadi orang baik karena dididik oleh orangtua dengan benar dan baik!" ujarku panjang lebar.

"Kamu tak ingin mengenal, atau paling tidak tahu tentang anak biologismu?" tanya Ambarwati.

"Awalnya sih begitu. Tapi ketika Kak Binsar meninggal dunia dan belum sempat menikah, aku mulai cemas. Apalagi pada saat Ayahku meninggal dan mewariskan separuh harta bendanya untuk cucu yang keberadaannya belum diketahuinya. Mungkin beliau berharap suatu saat aku akan menikah dan punya anak. Tapi itu tak mungkin terjadi! Maka, aku pun berusaha mencari tahu ke klinik di mana aku mendonorkan spermaku. Mencari informasi, apakah ada seorang anak yang dilahirkan dengan menggunakan sperma donor milikku? Dan cerita selanjutnya, kalian sudah tahu," jelasku.

Diam-diam ada kelegaan dalam benakku karena sudah membeberkan hampir semua masa laluku di depan anak perempuan biologisku dan ibu kandungnya. Aku berharap mereka menerima diriku apa adanya, lengkap dengan segala kekurangannya. Meskipun, masih ada satu masalah yang aku tutupi untuk sementara. Aku tidak ingin merusak suasana pertemuan pertama ini dengan mengungkapkan hal-hal menyedihkan tentang penyakit kronis dan kematian yang membayangiku belakangan ini.

(bersambung)

LUKISAN TERAKHIR Where stories live. Discover now