Bab 2

15 4 2
                                    

Life teaches us to make good use of time, while time teaches us the value of life.

Bayangan dalam cermin itu terlihat seperti hantu. Rambut kusutnya yang sudah mencapai tengkuk, perlu dipangkas atau paling tidak dirapikan. Wajahnya kuyu dan pucat dengan tulang pipi tirus, nampak muram. Tubuh tuanya terbalut piyama abu-abu yang agak kebesaran. Sementara sepasang mata hitamnya yang dulu bersinar penuh semangat hidup, kini redup tanpa gairah sama sekali.

Itulah refleksi penampakan yang aku lihat pada cermin di hadapanku. Aku hampir tidak mengenali bayanganku sendiri, dan ini tidak bisa dibiarkan. Sudah dua hari aku menyerah pada rasa nyeri yang menyerang sekujur tubuhku. Kepalaku langsung pusing kalau aku bergerak sedikit saja. Selera makanku lenyap, mulutku sakit akibat sariawan parah sejak aku sampai di Jakarta tiga hari yang lalu.

Kutinggalkan kota Padang, juga rumah besar dengan hati sedikit hampa tapi penuh kelegaan. Perasaan hampa sejak aku pulang dari upacara pemakaman ayah. Laki-laki itu sudah mendidikku menjadi pribadi penuh tekad kuat dan mandiri dengan caranya sendiri, keras, kasar dan tanpa ampun. Di antara rasa sakit hati atas perlakuannya pada masa lalu, sudah selayaknya aku berterimakasih kepadanya.

Mungkin hasilnya akan beda bila ayah memanjakan anak-anaknya dengan limpahan materi, tanpa aturan keras dan ketat. Mungkin aku dan Kak Binsar, seandainya dia masih hidup, akan jadi pribadi yang berbeda. Entahlah. Dulu waktu masih muda, aku tak pernah berpikir panjang, yang ada hanya gejolak jiwa penuh amarah. Sekarang, saat ajal sudah di depan mata, banyak hal yang aku pikirkan.

Tengku Anwar Firdausi, ayahku, telah pergi. Dia meninggalkan ruang kosong dalam hati yang tak akan terganti. Seperti kata pepatah, penyesalan itu tak akan pernah ada di awal cerita. Aku sungguh menyesali jarak yang terentang, memisahkan hati dan jiwa kami saat dia masih hidup. Kusesali rasa egois dan keras kepala yang bersemayam dengan nyaman dalam jiwaku di masa lalu.

Namun, ada kelegaan di saat-saat terakhir hidupnya. Meskipun dengan susah payah, kami memiliki kesempatan untuk saling melontarkan kata maaf dengan tulus dari dasar hati. Kedua tangan kami saling menggenggam, ada senyum tersungging di sudut bibirnya di saat terakhir, sebelum kesadaran perlahan meninggalkannya. Itulah senyum perpisahan yang akan terus terpatri dalam benakku, mungkin sampai ajal menjemputku dan membawaku kembali berjumpa dengannya di semesta yang lain.

Suara ketukan di pintu kamarku membuatku agak tersentak, mengembalikan kesadaranku.

"Sarapan sudah siap. Mau dihidangkan di kamar atau di meja makan, Pak?" suara Darto terdengar dari balik pintu. Laki-laki awal empatpuluhan itu adalah asisten pribadiku yang merangkap sopir sekaligus pengawal.

"Aku akan ke ruang makan limabelas menit lagi. Oya, sekalian siapkan mobil. Kita akan pergi setelah sarapan," pintaku sebelum melangkah ke kamar mandi. Aku dengar suara Darto mengiyakan instrusiku, lalu kebisuan kembali menemaniku.

***

Jakarta di pagi hari pertengahan minggu tanpa macet itu mustahil. Namun, aku harus pergi ke sebuah rumah sakit swasta terkenal, tempat dr. Budi tercatat sebagai salah satu tenaga dokter spesialis di situ. Dokter Budi merescedule jadwal pertemuan kami kemarin setelah mendengar kondisiku belakangan ini. Dokter yang berusia akhir empatpuluhan itu juga menyarankan lebih baik aku menemuinya di rumah sakit itu, alih-alih di tempat praktek pribadinya, dengan begitu dia bisa langsung melakukan pemeriksaan dengan lebih saksama.

Aku sama sekali tidak protes, karena semuanya untuk kepentinganku. Kondisi dan stamina tubuhku yang turun drastis belakangan ini tidak bisa disepelekan. Aku harus sehat, paling tidak tubuh ini bisa mendukung kegiatanku. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Ada mimpi yang ingin segera aku wujudkan, dan di atas semua itu, ada seorang anak yang harus segera kutemukan, sebelum ajal datang menjemput. Aku tidak tahu, berapa lama lagi waktu yang tersisa untukku. Akan kulakukan apa saja asal bisa bertahan hidup demi menemukan ahli waris keluarga Firdausi.

LUKISAN TERAKHIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang