Bab 3

13 4 0
                                    


Courage is when you're in pain but you go on living anyway.


Hari yang suram. Cuaca mendung sejak tadi pagi. Matahari seakan enggan menampakkan wajah, sementara awan kelabu juga malas beranjak dari tempatnya. Seperti aku juga malas bergerak untuk memulai aktivitas rutin dan menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Ada beberapa lukisan yang masih memerlukan "finishing touch".

Lukisan-lukisan yang akan menjadi bagian dari materi pameran dalam rangka pembukaan galeri baru milikku. Sebuah galeri yang merupakan salah satu impian terbesarku. Tidak lama lagi, itu semua akan terwujud. Ada rasa syukur yang tak terucap, meski aku sadar mungkin aku tak bisa terlalu lama lagi menikmati kebanggaan menjadi seorang pemilik galeri dan seorang seniman sekaligus. Waktuku di dunia fana ini makin terbatas, sedangkan bertobat dalam rangka menebus dosa-dosaku masih belum kulakukan dengan sempurna.

Dua minggu telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu dengan dokter Budi. Aku berusaha menuruti nasehatnya untuk tidak bekerja berlebihan. Akan tetapi, urusan persiapan pembukaan galeri seni sekaligus penggalangan dana begitu menyita perhatianku. Kalau sudah di depan kanvas dan berlepotan dengan cat air atau akrilik aku sering lupa diri. Lupa kalau tubuhku sudah tidak setangguh sepuluh atau limabelas tahun yang lalu. Akibatnya bisa diduga, kelelahan. Itulah yang aku rasakan sekarang.

Sakit kepala dan nyeri otot juga persendian kurasakan lagi saat aku bangkit dari sofa panjang yang ada di ruang keluarga. Aku berdiri, diam sejenak sambil menghela nafas untuk mengurangi nyeri yang kurasakan hampir di seluruh badan. Sudah waktunya minum obat. Obat-obatan yang aku benci tapi harus aku telan kalau aku masih ingin memperpanjang sisa hidupku di dunia ini.

Kalau menuruti keinginan dan tidak memiliki kewajiban apapun, aku lebih suka hidupku segera berakhir saja. Lebih cepat lebih baik. Namun, karena masih ada beberapa hal penting yang harus kulakukan, mau tidak mau aku harus menjalani semua derita ini demi bisa melakukan kewajiban dan juga menyelesaikan beberapa permasalahan yang sedang kuhadapi saat ini.

"Aduh, kenapa Bapak tidak panggil saya kalau perlu sesuatu?!" teguran itu datang dari Darto, asisten pribadiku merangkap sopir sekaligus bodyguard.

Lelaki berusia empatpuluhan itu segera mendekat begitu melihaku berjalan sempoyongan ke arah lemari di mana aku menyimpan obat-obat sialan itu.

"Aku belum invalid, Darto!"

"Saya tahu, tapi Bapak 'kan perlu istirahat. Hampir dua hari Bapak ndak tidur hanya untuk menyelesaikan lukisan!" jawab Darto dengan sabar.

Lalu dengan kesabaran pula aku dibantunya duduk di sebuah kursi berlengan yang ada di depan jendela besar di dekat lemari tempat aku menyimpan obat-obatan penyambung nyawaku. Seminggu terakhir ini aku memang memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaanku sebelum pembukaan galeri minggu depan, akibatnya keadaanku malah makin parah. Dokter Budi pasti menegurku dengan keras kalau tahu apa yang sudah kulakukan.

"Bapak mau minum obatnya sekarang?" pertanyaan Darto membuatku tersadar dari lamunan.

"Iya, tolong ambikan minum ya, To!" pintaku seraya menyandarkan punggungku di kursi.

"Baik Pak." Aku dengar langkah kaki lelaki yang sudah ikut denganku tiga tahun belakangan ini menuju pantri.

Empat tahun yang lalu aku tinggal di rumah ini sendirian. Aku beli rumah ini dengan harga di bawah pasaran karena yang punya butuh uang cepat untuk biaya perawatan rumah sakit ayahnya yang harus cuci darah seminggu sekali.

Rumah yang tidak terlalu besar itu memiliki halaman depan dengan taman kecilnya yang terawat rapi. Aku tertarik untuk membelinya karena di halaman belakang ada sebuah paviliun tanpa sekat seluas empat kali enam meter yang cocok sekali untuk studio tempat kerjaku. Pada tahun pertama menempatinya aku tak mengalami kesulitan mengurusnya.

LUKISAN TERAKHIR Where stories live. Discover now