empat

1.8K 252 5
                                    

"Ternekat sedunia, Akansa si rambut biru!" Tepat saat gue masuk kelas di jam istirahat, Taniya menyambut gue.

"Gerah banget gue, Tan! Anjir, lo tau kan panasnya di luar gimana? Dua jam di lapangan, kurang mantep apa coba, gila gak tuh Pak Roma?!?!" Gue mengoceh sambil duduk di kursi untuk beristirahat dan mengipas muka dengan tangan.

"Hari ini benerin tuh rambut lo. Gue temenin," kata Taniya sambil cengengesan liat gue yang muka dan rambut udah gak karuan. Oh jelas, kondisi gue saat ini sebenarnya udah X banget alias gak enak dipandang, gue mandi keringet.

Tapi gue haus, pengen yang dingin-dingin. "Temenin ke kantin, yuk! Pengen es buah gue atau apa lah gitu yang dingin dan seger."

Gue dan Taniya keluar kelas dan berjalan menuju kantin. Banyak banget yang liatin, padahal rambut biru ini udah gue kuncir walaupun tetep keliatan. Gaya gue juga biasa aja, emang sambil kipas-kipas sih, tapi salahnya di mana? Salahnya adalah gue terlalu mempersulit diri sendiri karena tingkah orang lain.

Tunggu-tunggu, Gue ketemu lagi sama si sepatu biru. Walaupun jarak kita sejauh kurang lebih 3 meter, gue melihat dengan jelas kalau itu adalah si sepatu biru. Tatapan dia juga tertuju ke arah gue, tapi bisa aja ke arah Taniya sih... Hari ini gue cuma lagi percaya diri aja, berasa seluruh umat manusia memperhatikan seorang Akansa November.

"Lo jadi beli es buah? Kalo jadi gue tunggu disana ya?" tanya Taniya.

"Jadi, yaudah lo tunggu dulu ya. Nanti gantian," jawab gue.

Gue pun berjalan ke arah tukang es buah, mata gue gak sengaja ngelirik ke arah kiri alias jalan seberang. Sepatu biru lagi dengan arah dan tujuan yang sama sepertinya dengan gue. Yup! Sama-sama sampai di tukang es buah. Dia lebih cepet dari gue sekitar tiga puluh detik dan juga baru pesan setelah gue sampai.

"Es buahnya satu, Mas Eko. Kaya kemarin ya? Antar ke meja 17," katanya seolah-olah memang langganan di sini.


"Siap, Mas Ikram. Tunggua aja di tempatnya. Mbanya es buah juga? Anter ke meja berapa?"

Gue mendadak lupa atau bisa jadi salah tingkah. "Duh, meja berapa ya? Lupa banget, tapi pploknya yang sebelah sana, baris dua pojok kanan arah kelas."

"Meja nomor 16," jawab si sepatu biru yang membuat gue reflek menoleh ke arah dia dan menatapnya selama beberapa detik.

"Oh okray. Di tunggu aja di mejanya masing-masing," kata Mas Eko.

Gue pun berjalan untuk membeli jajanan selanjutnya alias makanan inti gue hari ini. Berhubung gue tadi malam ngidam Indomie, Mi ayam kayanya pas banget sih.

Mata gue yang hari ini jelalatan menangkap posisi si sepatu biru yang sedang berjalan di belakang gue. Gue lagi diikutin gak sih?

Saat gue sampai di tukang Mi Ayam, dia ikut berhenti. Wait a minute... Hari ini kenapa gue kepedean banget?

"Mi ayam satu, Bunda. Meja 16. Tolong di anter ya nanti," kata gue. Panggilan bunda karena udah jadi tradisi. Gue ikutan aja.

"Kaya biasa, Neng Kansa?" tanya Bunda.

"Um, iya. Kuah dan sayur banyakin. Makasih bunda." Jawab gue.

"Saya bakso kecilnya aja pake sayuran tapi gak pake toge." Si sepatu biru ikut memesan.

Arah kita sama lagi. Meja sebelahan bernomor 16&17. Gue sampai, dia pun sampai. Dia juga bareng temannya dan gue bareng Taniya. Taniya pergi pesan makanan begitu pun temannya. Gue dan dia berhadapan tapi beda meja. Entah kenapa, gue merasa canggung sama orang yang gak gue kenal sama sekali. Biru di rambut dan biru di sepatu benar-benar menimbulkan tanya di senin pertama sekolah gue dengan bonus matahari yang super terik.

Besok apakah bisa sekebetulan ini?

Sepatu Biru IkramWhere stories live. Discover now