sepuluh

1.6K 234 23
                                    

Senin terakhir di bulan pertama gue sekolah. Kembali lagi dengan rutinitas biasa setiap senin, upacara bendera. Sialnya, ojek online susah banget hari ini. Gue sampai di gerbang pukul 7:44 alias tepat satu menit sebelum gerbang di tutup. Sebenarnya upacara belum di mulai, murid-murid pun masih banyak yang mengobrol. Setiap hari senin sekolah gue menutup gerbang pukul 7:30, lalu murid yang telat di berikan keringanan alias masih bisa ditunggu sampai pukul 7:45. Pagi ini gue sudah berlarian untuk bisa cepat menuju gerbang sebelum di tutup. Bukan hanya gue tetapi banyak juga murid yang lari gak karuan dan sama nasibnya kaya gue.

Berhasil masuk gerbang dengan selamat, gue langsung menaruh tas di bawah pohon tumpukan tas murid yang telat juga, karena kita gak akan sempat untuk ke kelas. Gue mebuka risleting tas gue untuk mengambil topi dan ikat pinggang yang belum gue pakai, gak lupa mengantongi beberapa lembar tissue untuk mengelap keringat gue nanti.

Gue pun berlari kecil menuju barisan kelas gue. Taniya berada di paling depan, sedangkan gue di belakang. Gak perlu tukeran sama yang pendek karena gue sudah cukup tinggi.

Disusul dengan anak kelas lain yang juga memasuki barisan kelasnya masing-masiing. Di saat lelah seperti ini gue berpikir kenapa sekolah gue harus menjalankan hari senin yang super hectic? Gue mengelap keringat bekas tadi lari dari depan gerbang. Sambil mengatur nafas gue yang gak beraturan, karena lari dan takut telat.

Upacara akan dimulai beberapa menit lagi, nafas gue sudah teratur, detak jantung gue juga kembali normal. Walaupun kening gue memang selalu berkeringat setiap kepanasan. Gue melihat jam tangan, sekarang pukul 7:48. Tiba-tiba seseorang dengan nafas tidak teratur seperti yang gue alami beberapa menit lalu berhenti disamping gue. Masih ada yang selamat dari Pak Roma hari ini padahal udah lewat tiga menitan, curang.

“Hai, gue boleh minta tissue lo?”

Gue menoleh ke sumber suara disebelah kanan. Baru beberapa detik rasanya gue mengecek kalau nafas dan detak jantung gue kembali normal. Tapi saat ini, rasanya gue merasa seluruh dalam diri gue gak normal. Gue membeku.

"Gak sopan ya tiba-tiba langsung minta. Kenalan dulu deh, gue Ikram." Dia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya

Gue sadar, tapi agak gugup aja. Ah, gini ya rasanya?

"Akansa," gue membalas uluran tangannya lalu memberikan dia selembar tissue baru dari kantong seragam gue.

“Makasih,” katanya sambil mengelap keringat.


“Lo Akansa November, kan?” tanya Ikram dan gue mengangguk.

“Kenapa follow request gue di diemin? Padahal lo langsung gue follback. Curang banget,” protesnya.

“Haaa?” Bodohnya gue cuma melongo dan dia pun terkekeh karena gue yang cukup awkward.


Obrolan kita terputus karena upacara bendera sudah di mulai.

Catatan hari ini: Senin terakhir bulan Februari, Ikram mulai menyapa gue. Gue berdoa dibawah langit biru dengan seseorang yang punya kenangan tentang sepatu biru dan rambut biru, semoga senin dan hari-hari selanjutnya bisa terus seperti ini atau bahkan akan menjadi lebih baik.










































TAMAT

Sepatu Biru IkramWhere stories live. Discover now