sembilan

1.3K 219 6
                                    

"Jadi dia ngetawain lo tadi?" Tanya Taniya setelah gue menceritakan hal tadi.

"Gue gak tau. Gue rasa iya, tapi gue gak mau kepedean juga. Tapi gue yakin 100% mata dia tertuju ke arah gue," ucap gue yang cukup meyakini.

"CIE BANGET. Terus gimana? Ini pasti karena dia merasa udah temenan sih sama lo walaupun cuma lewat Instagram. Ganteng juga ternyata! Gue semalem stalk dia pake akun Caroline," katanya, Taniya menyebutkan akun palsunya yang bernama Caroline itu.

"Belum gue accept."

Taniya malah gemas ke gue. "Loh?! Kok gitu?! Kok belum sih?! Padahal dia langsung followback lo, Akansaaa!!!"

Gue menanggapi dengan bodo amat, padahal gak bodo amat juga sih kenyataannya. "Yaudah nanti sih, biar gak malu-malu banget. Gue yang follow dia duluan nih."

"Yaudah semerdeka lo aja gimana deh, urusan lo. Gue laper kalo banyak mikir. Jadi... kantin aja yuk!" ajaknya.

Duh mampus, gue tiba-tiba mual dan sakit perut. Gue gak mau ketemu si sepatu biru hari ini. Dia bikin gue kepikiran, gue gak tau harus apa dan bagaimana. Gue pengen di kelas aja dengerin musik.

"Kayanya gue pusing deh tadi abis di jemur. Gue di kelas aja deh, Tan. Lo sama yang lain ya?" tawar gue.

Lalu Taniya menatap tajam ke arah gue sambil berkata, "Lo menghindari Ikram."

"Enggak."

"Bohong banget. Gue paham kok kalau lo sebenernya malu, kan? Lagi kupu-kupu bertebaran tapi rasanya kaya sakit perut?" tebaknya.

Oh, jelas sekali tebakannya 100% valid. Tapi gue tetap pada pendirian gue untuk tetap diam di dalam kelas.

"Gue nitip air putih aja."

Taniya mengiyakan dan akhirnya pergi ke kantin bareng teman kelas yang lain. Gue cuma duduk di bangku kelas memainkan ponsel dan siap untuk play lagu-lagu yang menenangkan.

Lagu pertama, The One dari Kodaline mengalun dengan indah di telinga gue.

"Ikram!"

Biarpun gue lagi denger lagu, gue mendengar salah satu teman gue, yang gue tau itu adalah suara Jita memanggil seseorang di luar sana. Gue refleks menengok ke arah pintu kelas. Orang yang bersangkutan langsung masuk ke dalam kelas menghampiri Jita.

"Oi, Jit. Kenapa?" katanya sambil tos ala cowok.

"Ikut gak nanti sore? Futsal di lapangan samping Gor. Anak kelas gue pada main nih. Kalo lo mau ikut nanti ajakin aja anak kelasan lo, kita sparing bareng."

"Dadakan banget lo. Nanti gue tanyain anak-anak deh."

"Kalo gak pada bisa ya lo aja sendiri."

"Oke, nanti gue tetep kesana kalo gak pada bisa. Kalo pada bisa juga nanti lo gue kabarin."

"Siap. Di tunggu, bro."

Lalu keliatannya Ikram langsung pergi keluar kelas. Dari awal dia masuk gue gak sanggup ngeliat. Gue tetap stay cool dengan ponsel dan airpods di telinga yang lagunya sudah gue stop sejak Ikram masuk.

\\\

Istirahat kedua, gue di paksa Taniya buat sholat dzuhur di kloter pertama karena dia akan nonton K-Drama setelahnya. Biasanya, gue tunggu kloter pertama dan kedua beres supaya sepi.

Gue mengambil wudhu setelah Taniya. Selesai mengambil wudhu sambil baca doa, di seberang sana gue bisa melihat segerombolan murid laki-laki yang sudah selesai mengambil wudhu. Dewi Fortuna sepertinya memang sedang berpihak ke gue, entah kebetulan ke berapa kalinya gue melihat Ikram lagi. Kali ini dengan rambutnya yang basah karena air wudhu. MasyaAllah, indahnya pemandangan.

"Kansa! Buruan." Panggilan Taniya membuyarkan lamunan gue. Ikram pun sudah menghilang dari pamdangan gue.

"Tadi ada Ikram," kata gue sambil pakai mukena.

Tania menoleh heboh ke arah gue. "Serius demi apa?! Yaudah nanti dulu ceritanya. Udah mau sholat."

Selesai sholat Taniya buru-buru membereskan mukenanya. Kali ini bukan karena K-Dramanya. Tapi karena Ikram. Katanya, gue pasti punya kesempatan lagi untuk melihat Ikram setelah sholat.

Bravo, Taniya. Di luar mushola, terlihat Ikram lagi memakai sepatunya, masih sepatu biru. Nekat banget Maliqi Ikram!

"Efek dia abis sholat apa gimana ya, Sa? Bagus juga selera lo," puji Taniya.

"Gue curiga plot twist. Ternyata lo yang naksir dia," tuduh gue.

"Ngaco lo ya? Chill, Akansa. Gue bukan tipe orang seperti itu," katanya. Lalu gue bersyukur dalam hati.

Gue melanjutkan untuk menatap Ikram dari dalam mushola. Menatap dari jauh. Kok gue bisa-bisanya merasakan hal kaya gini? Padahal untuk sekadar menyapa aja belum pernah sama sekali. Menyenangkan ternyata bengong sambil ngeliatin Ikram yang lagi pakai sepatu birunya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lima detik.

Enam detik.

Tujuh detik.

Delapan detik.

Sembilan detik

Tepat di detik ke sepuluh Ikram balas melirik gue. Sial, gue ketauan lagi menatap dia!

Sepatu Biru IkramWhere stories live. Discover now