delapan

1.3K 215 11
                                    

Malam ini gue susah tidur. Efek si sepatu biru sedahsyat ini. Padahal gue gak kenal dia, begitu pun dengan dia. Kita berdua bukan orang yang saling kenal walau sesekali pernah berpapasan. Astaga, Gimana kalau dia nyadar yang follow dia itu gue? Orang yang sama-sama berurusan dengan warna biru. Ah, malu banget rasanya. Rasanya gue gak mau lagi pergi ke kantin untuk ketemu sama dia. Walau ketemu dia bisa di hitung dengan hitungan jari. Satu hal yang gue tau, sepatu biru itu masih di pakai di sekolah. Saat jam istirahat.

Mungkin.

Iya, kayanya. Karena gue cuma sok tau aja tentang Ikram si pemilik sepatu biru yang sedikit membuat gue selalu kepikiran dari awal ketemu. Gue gak mikir macam-macam, ini cuma sebuah kebetulan karena kita sama-sama pakai sesuatu yang warnanya sama.

Mungkin.

\\\

Besoknya gue kesiangan. Hal sial menimpa gue lagi. Mood gue gak beres gara-gara insiden kemarin, over thinking itu emang menyebalkan.

"Dua kali dalam waktu kurang dari sebulan murid baru ini berani-beraninya ya ketemu saya lagi." Lagi dan lagi gue harus mendengarkan ocehan Pak Roma di pagi hari yang cerah ini.

"Maaf pak, tadi susah banget dapet ojek online." Gue beralasan seperti itu, sebenarnya bukan alasan sih, itu faktanya.

"Naik angkot dong, jangan maunya instan aja. Kamu bukan mi."

Gue hanya bisa menunduk sambil berkata, "Iya pak, maaf."

"Untung kamu cantik jadi saya gak mau banyak ngoceh," katanya yang membuat gue kaget, kok guru gue secentil ini.

"Rambut kamu bagusan gini loh, daripada biru yang gak jelas. Sana, ketemu matahari biar sehat rambutnya. Satu jam dari sekarang!" perintahnya lalu pergi begitu saja.

Tapi dia balik lagi nengok ke gue sambik berkata, "Oh ya, jadi berkilau juga rambutnya kaya di iklan-iklan." katanya, lalu hanya gue hanya menyeringai dan menanggapinya dengan 'hehehe' saja.

Karena ini hari biasa, untungnya gue  cuma dijemur satu jam. Beda lagi kalo di hari senin, itu termasuk ke pelanggaran berat karena kita di anggap menantang guru yang bertugas sebagai pemeriksa tata tertib sekolah.

Seperti gue ini contohnya, yang sedang berdiri bersama beberapa murid lainnya di bawah matahari pagi yang katanya punya manfaat yg bagus sekali untuk rambut. Pak Roma bilang rambut gue bagus. Sambil memikirkan omongan random Pak Roma, gue menguncir asal rambut hitam ini supaya gak kena keringat gue yang mulai menetes. Tapi gue berharap, semoga sinar matahari ini menyerap ke rambut hitam gue yang katanya berkilau ini.

Gue memikirkan hal-hal seperti itu, apakah sinar mataharinya menyerap? Apakah sebaiknya gue gak usah cat rambut lagi? Apakah Taniya merasa berdosa dengan gue hari ini? Apakah sebaiknya gue accept Ikram aja?

At the end of my random thoughts, akhirnya ke Ikram lagi. Kayanya gue bisa telepati sama dia. Beberapa detik yang lalu, Ikram lewat koridor yang ada di belakang tiang bendera, posisinya di depan gue berdiri. Gue bisa melihat dia dari sini, dia pun melihat gue, matanya tertuju persis ke arah gue, dan menertawakan gue sebentar.

Dia melihat gue.

Matanya tertuju ke gue.

Dia menertawakan gue sebentar.

Bahkan di udara terbuka seperti ini gue merasa bahwa oksigen yang ada di sini terlalu berpolusi sehingga membuat gue susah nafas. Entah karena oksigennya yang udah tercemar, atau tertawanya Ikram yang udah mencemari jiwa gue.

Sepatu Biru IkramWhere stories live. Discover now