[konversasi pukul dua belas]

819 64 5
                                    

[konversasi pukul dua belas]

agaknya saya keliru,
atau mungkin berhalusinasi,
sebab saya temui pesan tuan,
tepat pukul dua belas dini hari,
ada apa gerangan?

saya balas pesan singkatmu,
seraya menerka-nerka,
mengapa kembali mengabari,
setelah memilih tak berkabar?
ada apa gerangan?

pesanmu kembali hadir,
ujarmu;bisa teleponnya diangkat?
ego saya memberontak;
jangan ujarnya, tuan hanya bermain,
namun sayang, rindu berkelakar;
tidak perlu berlagak munafik, angkat saja!

ya, tidak perlu berlagak munafik,
saya memang merindu pada tuan,
saya lekas mengangkatnya,
resah hinggap, merasa tak nyaman,

tuan bertanya kabar saya,
apa kamu baik-baik saja?
bimbang, ingin menjawab apa,
sebab saya tidaklah baik-baik saja,
tuan pergi, berkelana entah kemana,
lalu kembali, seolah tiada terjadi apa-apa,
tuan teramat tidak tahu diri, ya?

tuan ajak saya mengenang,
akan semesta yang mencipta temu,
tentang afeksi yang hadir antara kita,
tentang komitmen yang dahulu tercipta,
saya bertanya, kenapa kembali membahas?
jawabnya, tidak tahu, saya hanya mengenang,

saya masih tidak tahu,
atas dasar kembalinya tuan,
entah hanya untuk menyapa,
atau berniat kembali lagi,
saya enggan mencari tahu,

tuan kembali berujar,
maaf telah raib, ujarnya,
saya balas, ya tidak apa-apa,
selepasnya, sunyi merajai kita,
sadarku, sekat telah memutus kita,

Alina, tuan memanggil saya,
pernah mengenalmu ialah anugerah,
pernah mencintaimu ialah bahagia,
pernah membagi kisah denganmu ialah keberuntungan,
ujarnya entah di belahan bumi mana,

saya menghela napas,
seraya berkata, ada apa sebenarnya,
tuan menghela napas pula,
ah, maaf telah mengulur waktu,
saya hanya bimbang membicarakannya,
ujar tuan resah, begitu pula saya.

sunyi kembali merajai,
lalu ia kembali menghela napas,
Alina, kita sudahi saja, ya?
saya membisu, seraya mengucap doa,
semoga ini hanyalah bunga tidur,

Alina, kamu mendengarku?
tanyanya khawatir,
saya menjawab, iya saya dengar,
ia melanjutkan, maaf telah melukaimu,
tetapi saya hanya ingin melanggas,

saya tertawa sumbang,
seraya menjawab
kamu seharusnya tidak berbohong,
saya tahu kamu tidaklah melanggas,
tetapi telah kau temui muara barumu,
saya jelas paham akan itu,
ia adalah tujuan kelanamu, tuan.

tuan membisu,
sedang saya membiru,

tuan berujar lirih,
Maafkan saya, Alina.

selepasnya, saya matikan teleponnya,
lalu menangis, bersama lara yang berpesta.

[]

re-publish

terasing Where stories live. Discover now