(5) Wonderful Wacky Weekend

304 66 6
                                    

Aku menggeliat dan kembali memposisikan diri dalam pelukan Fabio yang sedang serius menonton Letters to Juliet. Meski tanpa diucapkan, aku tahu ada cercaan yang tertahan di kepalanya melihat film Hollywood yang menggunakan kota Verona sebagai lokasi pembuatannya itu. Kekasih Italiaku itu mungkin memang tidak tumbuh dan besar di negara asal ayahnya, dia hanya datang ke Itali untuk menengok kakek neneknya setiap bulan September, tetap dia seperti punya ego yang kerap terluka melihat budayanya dibuat lucu-lucuan atau diremehkan. Well, aku tidak bilang film yang sedang kami tonton dan sudah ditayangkan ulang puluhan kali di HBO ini meremehkan Italia, tapi dari rahang Fabio yang mengeras dan alis tebalnya yang bertaut aku tahu ada sesuatu yang menganggunya.

"Why so serious?" tanyaku pada akhirnya.

"Nothing."

Aku tahu dia tak akan menjawab pertanyaanku tadi.

"You can find another movie if you don't like it," ucapku.

"Sudah hampir habis, kok. Kenapa Papi menelepon?"

Aku tahu Fabio mengalihkan pembicaraan, tapi aku juga harus memberitahunya bahwa hari Minggu yang indah ini tak bisa kita habiskan berduaan di atas tempat tidur saja.

"Papi suruh kita nyusul ke tempat berkudanya. Katanya dia mau ngasih hadiah," jawabku.

"Bukannya tadi pagi hujan? Papimu tetap berkuda?"

Aku mengangkat bahu.

"Kita cuma diminta untuk menemuinya di sana, satu jam lagi."

"Kamu saja, atau kita?"

Aku tersenyum geli kemudian memencet hidung mancung Fabio dengan gemas. Dasar bule! Sopan santunnya di atas rata-rata, beda jauh sama orang-orang yang mengaku berasal dari negara penuh sopan santun ini.

"Papi tahu kamu ada di sini, jadi dia bilang 'kalian', that's mean you should come with me. Understood?"

"Yes, Ma'am!" ledek Fabio.

Freelance travel journalist gila yang kini lebih sering berada di luar kota dan luar negeri daripada berada di Jakarta ini sering bilang bahwa aku seperti guru matematika galak atau sersan komandan tentara. Karena itu dia kerap menggodaku dengan panggilan 'ma'am'.

"Ayo, siap-siap! Kita mungkin butuh lebih dari tiga puluh menit untuk sampai di tempat berkuda Papi," ujarku seraya mendorong Fabio.

Sayangnya kekasihku lebih cekatan. Dia menarik tangan dan badanku hingga berada di atas tubuhnya.

"Masih ada waktu sepuluh menit untuk mandi, lalu bersiap-siap. Bagaimana kalau kita mandi berdua?"

Tawaran menggoda itu datang bersama kecupan di pipi, di dagu, di ujung hidung, dan tentu di bibirku. Aku membalas ciumannya sesaat, tapi tepat ketika dia lengah aku segera melompat berdiri dan lari ke kamar mandi.

"Kita butuh lebih dari satu jam kalau ingin melakukan itu. Aku tak ingin membuat Papi menunggu," teriakku di tengah tawa karena berhasil kabur dari Fabio.

"Baiklah kalau begitu, setelah pulang dari bertemu Papi, aku akan menagih janji itu, Mi Amore."

Aku tersenyum atas rencana itu, tapi tak menyahutinya. Kami hanya punya waktu sebentar untuk bersiap-siap. Karena perjalanan dari rumahku di Andara menuju tempat golf Papi di daerah Jagakarsa biasanya akan makan waktu lebih dari setengah jam karena jalanannya yang macet, dan aku tak suka membuat orang lain menunggu, terlebih jika orang itu adalah Mahendra Atmadja, papiku tersayang.

Setelah selesai mandi kilat, aku memulas wajah dengan sedikit bedak dan lipstik warna nude. Meski tak secantik dan semenor Mami dan Odit, aku tetap berdandan hampir setiap hari. Aku tak pernah membiarkan diriku tampil buruk di depan orang lain. Namun, hanya secukupnya!

Beauty, Brain & Bond "Alpha Angel" [HIATUS]Where stories live. Discover now