Air jatuh dari pancuran berbentuk persegi di atas kepalanya. Pada bidang datar bilik kamar mandi, gadis itu menyimak pantulan dirinya sendiri. Ia masih dirinya yang kemarin, yang rambutnya hitam lurus, kulitnya putih pucat, dan lensanya berwarna cokelat teduh. Tak ada yang berbeda darinya. Kecuali sorotnya yang kini seolah tanpa jiwa.
Perlahan, gadis itu menanggalkan selimut yang sudah basah. Membiarkan tubuhnya kini polos sempurna. Ia memejamkan matanya, menyentuh lengannya dengan ujung-ujung jarinya.
Tak ada noda di sana, tapi ia merasa tubuhnya sangat kotor.
Perlahan, gadis itu membasuhnya pelan. Lantas selaju dengan air yang mengalir di kulitnya, ingatan itu pun hadir. Wujudnya samar serupa kabut, dan rancu seperti sebuah film rusak. Fragmen itu timbul tenggelam begitu saja. Mundur. Maju. Mudur. Maju.
Can I kiss you?
Setetes air sebening kristal mulai meleleh dari sudut matanya, menyatu bersama air yang membasahi wajahnya. Lalu pecah di atas lantai.
Air mata itu adalah tetesan pertama, bentuknya serupa dan melebur begitu saja bersama teman sewujudnya. Namun, begitu pula air mata itu juga pangkal dari segala lukanya, luruhnya sebuah ketegaran, dan titik di mana kesadaran mulai menghantamnya dengan cara yang menyakitkan.
Isak itu mulai lolos dari bibirnya. Tertahan. Seperti tengah susah payah menahan diri. Namun tak bisa. Ia tak bisa menahan isakan itu lebih jauh lagi.
Kotor.
Ia merasa tubuhnya sangat kotor.
Jijik.
Ia jijik dengan dirinya sendiri.
Gadis itu mulai mencengkram lengannya kuat-kuat. Menggosoknya, seakan-akan ada kotoran yang melekat kuat di sana.
I love you.
"Argh!" jeritan itu akhirnya lolos. Tangisnya makin pecah. Gosokan tangannya semakin keras, tak peduli darah yang ikut mengalir karena goresan kukunya.
Kotor.
Kotor.
Kotor.
Ia sangat kotor.
"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" tangisnya melonglong lebih keras lagi. Sesanggup yang ia bisa, gadis itu berusaha melawan kuat-kuat ingatan di kepalanya. Tapi memori itu tak terbunuh, dan kenyataan tak akan berubah.
Semakin ia menolak, inderanya justru semakin peka. Ciuman itu, sentuhan itu, bisikan itu. Mereka justru hadir semakin jelas. Mengukungnya dalam sebuah kenyataan pilu.
Bersamaan dengannya hadir pula dalam kepalanya, wajah orang-orang yang ia cintai dan mencintainya dan masa depan yang seolah-olah gelap dalam sekejap mata.
Tangisnya makin menggila, gadis itu mulai mencakar-cakar kulitnya, memukul tubuhnya, menjambaki rambutnya. Ia menyakiti dirinya seakan-akan hal itu bisa membuatnya mengembalikan waktu, atau bangun dari mimpi buruk ini.
"BERHENTI! TOLONG BERHENTI!"
Tapi bukan. Ini bukanlah sebuah mimpi buruk.
Beberapa waktu terlewat, dinding-dinding kamar mandi menjadi saksi bagaimana pilu tangisannya perlahan memelan. Gadis itu mulai kepayahan, tubuhnya meluruh, ia mulai lelah melawan.
Dengan suara yang lebih lirih, yang tenggelam dalam percikan air, gadis itu memohon sekali lagi. "Berhenti... tolong berhenti..."
Dan suara itu tetap hadir.
I'm sorry, Bi. I really sorry.
---
A/n:
Boom!
Gimana prolognya? Hahaha
Yang kemarin nagih, yakin mau lanjut? 😌
Kalau prolognya gini, kira-kira udah punya gambaran akan gimana ceritanya Raesangga x Nadine x Gemilang x Btari?
Coba tag aku di Instagram pendapat kamu soal prolog ini? 🙂
Anyway, kayak yang aku bilang di prakata, Melukaimu dipublish dalam rangka merayakan 4 tahun Anniversary Naya Readers! Yay!
Terima kasih banyak karena kalian selalu sabar ngadepin aku, selalu support aku, dan tetap setia nunggu aku. I owe you a lot!
Tbh, agak deg-degan nulis ini karena keluar dari zona nyaman aku. Tapi semoga kita bisa sampai di titik terakhir ya!
See you when i see you!
Tangerang Selatan, 25 Januari 2021.
Love,
YOU ARE READING
Melukaimu
RomanceDesc: Cerita ini mengandung adegan 17+ Kukira, kisah kita hanya akan jadi cerita sederhana. Tentang dua orang yang saling jatuh cinta, lalu bahagia selama-lamanya. Lagipula, baik aku mau pun engkau, telah tahu ke mana hati ini bermuara. Sejauh ap...