03 | Pondok Kolong Langit

7.9K 1.4K 755
                                    

Ia terlalu terbiasa menjadi tempat berpulang.
Menampung luka dan cerita sedih orang-orang.
Hingga suatu hari, ketika ia tengah kelelahan.
Lengannya tak sanggup lagi untuk memberikan dirinya sendiri sebuah pelukan.

•••

Ada masa-masa di mana rasanya hidup telah berhenti bergerak, detik berhenti berdetak. Namun dunia tetap berputar dan kita dipaksa untuk tetap bernapas, meski nyawa rasanya nyaris lepas dari genggaman.

Tiga minggu berlalu sejak Btari menemukan dirinya terbangun dalam keadaan tanpa busana. Pagi itu, Btari merasa bahwa tak ada hari esok baginya, tapi ketika ia pulang dan menemukan orang tuanya yang menyapanya seperti biasa, sarapan bersama kedua kakaknya, bertanya pada Btari mengenai rencana relawan mengajarnya, Btari tahu ia tak punya pilihan selain berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja.

"Bi?" panggilan di sampingnya kontan membuyarkan lamunannya. Btari mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum menarik sudut-sudut bibirnya.

"Eh, kenapa Nad?"

"Kamu udah selesai submit-nya? Anak-anak mau main sama kamu," ujar Nadine seraya melirik anak-anak Pondok Kolong Langit yang kini menatap mereka ingin tahu. Jelas sekali, mereka berharap agar Btari bisa ikut bergabung.

Btari balas menatap anak-anak berkaus kumal tersebut. Tiga tahun lalu, tepat seminggu setelah Paramitha Festival diselenggarakan, Raesangga mengenalkan Btari dan Gemilang dengan anak-anak di daerah rumah Bu Sukma.

Btari masih ingat bagaimana binar mata anak-anak itu, ketika Btari mengajak mereka bersalaman. Ucup yang malu-malu, Icang yang suka mau tahu, sampai Ipul yang sering-pura-pura bersikap ketus. Terutama pada Nadine, dan Raesangga.

Adu mulut antara Nadine dan Ipul yang kerap Btari dengar, serta sorot-sorot bersemangat anak-anak ini tiap Gemilang bercerita, membuat ide itu muncul begitu saja di kepala Btari.

Disambut baik oleh ketiga sahabatnya, dan dengan memanfaatkan sedikit privilese Raesangga, akhirnya rumah belajar itu berhasil di bangun tepat di sisi sebuah tanah lapang. Bangunan semi permanen itu dinamai Pondok Kolong Langit. Nama yang diberikan Aisyah tepat satu bulan sebelum gadis itu menghembuskan napas terakhirnya.

Sejak saat itu, Pondok Kolong Langit menjadi destinasi mereka hampir setiap minggunya. Pengajar tetapnya memang hanya mereka berempat, tapi sesekali teman-teman mereka ikut menjadi relawan.

Bagi Btari sendiri, Pondok Kolong Langit bukan hanya sekadar tempat ia mengajar. Namun juga pelarian, sebuah tempat di mana ia bisa mengisi ulang energinya setiap ia merasa kelelahan. Namun saat ini, jangankan untuk bermain, untuk sekadar tersenyum saja Btari merasa telah kehabisan tenaga.

"Kalau sama kalian bertiga dulu gimana? Aku masih nunggu balesan dari dosen PA-ku," katanya seraya melirik ke arah laptop yang terbuka. Berusaha menjadikannya sebagai alasan.

"Yah, yaudah deh," ujar Nadine kecewa. Sesaat Btari berpikir ia akan terbebas, tapi Nadine urung membalik badannya. Sebaliknya, sahabatnya itu kini menatap Btari lekat-lekat. "Kamu beneran baik-baik aja, Bi?"

Pertanyaan itu mungkin adalah pertanyaan ketiga yang diajukan Nadine pada Btari dalam satu jam terakhir, dan seperti sebuah template default, Btari hanya melebarkan senyuman dan menjawab sekenanya.

MelukaimuWhere stories live. Discover now