06 | Pukul Tiga Pagi

6.9K 1.3K 640
                                    

Setiap malam sebelum tidur, mereka selalu berdoa agar esok hari, mereka bisa lebih bahagia daripada hari ini.

Namun pagi itu, di kamar yang dingin, tangga rumah sakit, dan tepat di depan pintu Apartement, mereka tahu, bahwa bagi mereka waktu telah terhenti...

Tepat pukul tiga pagi.

•••

Ruangan itu tampak lengang, hanya terdengar suara dari ventilator dan pendingin ruangan. Gemilang menatap dada Ibunya yang naik turun dengan teratur, lantas perlahan melepaskan genggamannya dari tangan tua wanita itu.  Dengan sangat hati-hati Gemilang merapikan lagi selimut Ibunya yang sebenarnya sama sekali tidak berantakan.

Pukul tiga pagi. Setidaknya Ibunya sudah melewati masa-masa kritis. Gemilang meraih sebuah selimut yang tadi ia minta pada perawat, lalu menyampirkannya di tubuh Gisa yang sudah jatuh terlelap di atas sofa rumah sakit.

Tanpa sengaja, matanya terantuk pada buket mawar putih yang sudah rusak. Gemilang mengangkat kepalanya, hanya demi melihat pantulan dirinya dari jendela rumah sakit. Ia masih mengenakan kemeja batik, lengkap dengan celana hitam dan sepatu pantofel. Setelan yang memang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari untuk menghadiri wawancara Btari hari ini.

Gemilang tersenyum pahit. Seharusnya hari ini pasti menjadi hari yang menyenangkan, hari yang mereka semua nantikan. Semula semua berjalan lancar; Gemilang mengenakan pakaian terbaiknya, Nadine dan Raesangga yang sudah menyiapkan kejutan, dan sebuket mawar putih yang Gemilang telah siapkan untuk perempuan yang telah menemaninya nyaris seumur hidupnya.

Hingga telepon dari Gisa sampai di ponselnya. Anak itu tak mengatakan banyak hal, hanya terisak terusan-terusan dan memanggil namanya dalam suara yang kelewat panik, dan Gemilang tahu, hanya satu alasan yang membuat adiknya sedemikian ketakutan.

Seketika ketakutan itu hinggap pada dirinya lagi. Gemilang merasa seluruh darah menyusut sampai telapak kakinya, kehilangan itu belum pasti tapi seolah tengah tergantung satu senti di depan matanya.

Tanpa pikir panjang, ia memutar haluannya. Dengan  usaha yang luar biasa keras, Gemilang memberi intruksi pada adiknya untuk menghubungi rumah sakit terdekat, hingga pada akhirnya di sini lah mereka sekarang. Menemani sang Ibu yang terlelap tanpa daya.

"Mas?" panggilan dari Gisa kontan membuat lamunannya pecah.

"Ngapain bangun, Gis? Tidur aja."

"Gantian aja Mas tidur, aku yang jagain Ibu."

"Mas nggak ngantuk," ujar Gemilang. Ia tidak berbohong, kuliah hukum, menjadi ketua BEM, dan tetap mengambil part time di sela-sela kesibukannya membuat ia terbiasa tidur dengan waktu minim. Untuknya tiga jam sudah lebih dari cukup.

"Oh iya, Mas, mbak Gita udah aku kabarin tadi, katanya kalau besok dapat tiket mau pulang dulu."

Gemilang hanya menganggukan kepalanya. Di antara semua hal yang membayanginya beberapa tahun terakhir, setidaknya beberapa hal baik masih terjadi di hidupnya. Seperti Gisa yang bisa bersekolah di SMA Paramitha tanpa biaya, dan Gita yang kini bisa menempuh berkuliah di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta.

"Ini handphone Mas, tadi aku udah charger." Gisa menyerahkan sebuah handphone berwarna hitam itu pada Gemilang. "Dari tadi kayaknya bunyi, tapi aku nggak angkat."

MelukaimuWhere stories live. Discover now