08 | Pisau di Hati Wanita Nomor Satu

7.8K 1.4K 1.2K
                                    

Aku menyusuri labirin-labirin gelap.
Menemukanmu sendirian terduduk di sana.
Di tanganku ada seekor kunang-kunang.
Namun cahayanya, hanya cukup menuntun satu orang.

Lantas sayangku, sebagaimana pernah kukatakan.
Setiap sedihmu juga akan kutelan bulat-bulat.
Maka aku akan memilih menemanimu hingga kau lelah berduka.
Kubiarkan kunang-kunang itu mati, sehingga tak ada lagi yang tersisa.

Selain aku, kau, dan kegelapan yang tak pernah usai.

•••

Apa hukuman yang pantas untuk seorang pemerkosa? Hukuman mati.

Raden akan selalu berpegang teguh pada prinsipnya yang satu itu. Ia bahkan tak mengerti, kenapa ada orang yang tega menikahkan seorang pemerkosa dengan korbannya, bukankah itu sama saja dengan menghukum sang korban?

Namun rupanya premis itu tak mudah dipatahkan. Bahkan oleh keluarganya sendiri. Kedatangan Raesangga, serta pengakuan pemuda itu bermuara pada satu keputusan; bahwa Raesangga akan menikahi Btari dan bertanggung jawab sepenuhnya atas bayi mereka nanti.

Raden tentu saja menentang hal itu mati-matian, sementara Bapak, Ibu, dan Btari sama sekali belum memberikan jawaban.

Satu lagi pil pahit yang harus mereka terima, kenyataan bahwa Raesangga dan keluarganya bukan orang yang bisa mereka lawan. Semarah apapun mereka.

Pada akhirnya mereka terlalu lelah untuk berdebat. Bapak hanya meminta Raesangga untuk pulang dan datang lagi setelah berbicara dengan kedua orang tuanya.

Sepulangnya pemuda itu, rumah keluarga Hartadi kembali diselimuti oleh hening. Bapak dan Ibu mengunci diri di kamar, begitu pula adiknya, Btari. Sementara Dinda masih belum pulang sejak kemarin. Gadis itu seolah tengah melarikan diri, dan Raden berusaha memahaminya. Tak mudah untuk berdamai dengan keadaan mereka saat ini.

Raden menyadari, bahwa yang tersisa saat ini hanya dirinya sendiri. Tak seperti bertahun-tahun lalu ketika ia memutuskan untuk lari, Raden tahu, ia harus berdiri untuk menopang keluarga mereka saat ini. Layaknya sebuah rumah yang nyaris runtuh, hanya dirinyalah pondasi yang bisa menjadi kaki untuk keluarganya sendiri.

Raden mengembuskan napas beberapa kali, lalu memaksakan senyumannya. Lantas, mengetuk pintu kamar adiknya tiga kali.

"Bi? Mas masuk ya?"

Tanya itu tentu saja tak mendapatkan jawab, tapi seperti beberapa hari kemarin, Raden tetap membuka pintunya.

Kamar Btari gelap, entah sudah berapa lama gadis itu membiarkannya demikian. Setelah menekan saklar, barulah Raden bisa melihat adiknya yang tengah meringkuk di pinggir ranjang.

Raden pun meletakan nampan di atas meja, lalu memutuskan untuk duduk di lantai samping ranjang. Lamat-lamat ia tatap wajah Btari.

Sekali lihat, Raden tahu seberapa berantakan sebenarnya adiknya. Rentetan kenyataan yang baru mereka terima serupa angin puyuh yang menghancurkan semua hal yang mereka punya. Tapi yang paling menyakitkan adalah membayangkan, bagaimana selama ini Btari melewati semua ini sendirian.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Bagaimana perasaan Btari selama ini?

Mengapa Btari menyimpannya sendirian dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja?

Mata Btari terpejam, tapi Raden tahu adiknya tidak benar-benar tertidur. Cekung di bawah matanya, bibirnya yang pucat dan bergetar, dan jejak lurus bekas air mata masih tertinggal di sana.

MelukaimuWhere stories live. Discover now