02 | Pagi Yang Tak Utuh

8.5K 1.5K 437
                                    

Ia memejamkan mata,

dan berharap tak pernah terbuka.

Untuk selamanya.

•••

Udara dari air conditioner berhembus lembut. Dengan tubuhnya yang hanya terlapisi selembar selimut, seharusnya gadis itu merasa menggigil kedinginan. Tapi saraf-saraf di tubuhnya mungkin sudah berhenti bekerja. Bahkan nyeri di pangkal paha yang ia rasakan ketika ia membuka mata sudah tidak terasa.

Satu jam berlalu sejak ia terbangun dari tidurnya, dan selama itu juga yang ia lakukan adalah menjadi mayat bernapas. Teratur dadanya masih bergerak, jantungnya masih berdetak, tapi ia merasa hampa. Seakan-akan nyawa telah tercabut dari dalam raganya.

Meski ingatannya masih segelap malam, tapi ia tidak bodoh untuk menarik sebuah kesimpulan. Seseorang telah menidurinya tadi malam.

Btari membasahi bibirnya, berusaha mengenali emosi yang seharusnya ia rasakan. Namun satu-satunya yang ia temukan adalah sebuah kebingungan. Tak ada marah. Tak ada sedih. Tak ada bahagia.

Kosong.

Seakan-akan ia tengah tersesat tanpa jalan keluar. Terjebak dalam ruangan kedap cahaya. Tenggelam dalam palung tidak berdasar.

Rasanya ia bahkan tak sanggup untuk sekadar merasa sesak.

Akhirnya, dengan sisa kesadaran yang masih ia genggam, Btari pun bangkit dari baringnya. Menyeret kakinya menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah.

Air jatuh dari pancuran berbentuk persegi di atas kepalanya. Pada bidang datar bilik kamar mandi, Btari simak pantulan dirinya sendiri. Ia masih Btari yang kemarin, yang rambutnya hitam lurus, kulitnya putih pucat, dan lensanya berwarna cokelat teduh. Tak ada yang berbeda darinya. Kecuali sorotnya yang kini seolah tanpa jiwa.

Perlahan, Btari menanggalkan selimut yang sudah basah. Membiarkan tubuhnya kini polos sempurna. Gadis itu memejamkan matanya, menyentuh lengannya dengan ujung-ujung jarinya.

Tak ada noda di sana, tapi Btari merasa tubuhnya sangat kotor.

Perlahan, gadis itu membasuhnya pelan. Lantas selaju dengan air yang mengalir di kulitnya, ingatan itu pun hadir. Wujudnya samar serupa kabut, dan rancu seperti sebuah film rusak. Fragmen itu timbul tenggelam begitu saja. Mundur. Maju. Mudur. Maju.

Can i kiss you?

Bibir mereka bersentuhan, kepalanya yang terasa melayang, hingga genggaman tangan yang membawanya membelah kerumunan.

Setetes air sebening kristal mulai meleleh dari sudut mata Btari, menyatu bersama air yang membasahi wajahnya. Lalu pecah di atas lantai.

Air mata itu adalah tetesan pertama, bentuknya serupa dan melebur begitu saja bersama teman sewujudnya. Namun, begitu pula air mata itu juga pangkal dari segala lukanya, luruhnya sebuah ketegaran, dan titik di mana kesadaran mulai menghantamnya dengan cara yang menyakitkan.

Mereka ada di sebuah kamar. Seseorang berada di atasnya. Matanya menatap Btari penuh damba, seakan-akan memang ialah gadis paling berharga di seluruh dunia.

Btari tak dapat mengingat wajahnya, tapi ilusi menggambarnya, seolah ia adalah pemuda yang paling Btari cintai di muka bumi. Seakan-akan ia memang pemuda yang selalu melindunginya. Yang selalu ada untuknya. Yang Btari inginkan di sisa akhir hidupnya.

Pemuda itu mengerang, melepas jaketnya.

Isak itu mulai lolos dari bibirnya. Tertahan. Seperti tengah susah payah menahan diri. Namun tak bisa. Ia tak bisa menahan isakan itu lebih jauh lagi.

MelukaimuWhere stories live. Discover now