Maria

282 65 17
                                    

(warning: cerita ini mengandung unsur LGBT)


***


Mama ingin aku bertingkah lebih normal. Sewajarnya remaja berusia tujuh belas tahun. Persisnya yang dia maksud adalah berkawan, berjalan-jalan tiap akhir pekan, hingga berkencan dengan laki-laki seumuran. Namun aku tak bisa merasakan kesenangan dari semua itu, meskipun aku belum sampai coba-coba punya pacar. Lebih tepatnya, aku tidak berminat melakukan hal-hal tersebut karena sulit sekali bagiku untuk merasakan emosi apa-apa. Senang, sedih, marah, tersinggung, berdebar-debar—semua itu nyaris tidak pernah kurasakan beberapa tahun belakangan. Aku pun tidak tahu pasti sebabnya. Satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa 'agak baik' adalah ketika aku mendengarkan lagu Maria yang dinyanyikan oleh band Blondie sendirian di dalam kamar.

Mama tampak khawatir saking jarangnya aku keluar kamar, kerap membandingkanku dengan kakakku, Sekar, yang pandai bergaul dan sesekali berganti pacar. Apalagi ketika Mama bertanya jurusan apa yang ingin kupilih untuk kuliah nanti? Ketika kujawab belum tahu, makin pusing saja Mama sebab aku sudah kelas dua belas. Akhirnya, dia menelepon guru Bimbingan Konseling di sekolahku dan menyuruhku berkonsultasi dengan beliau. Aku tahu itu takkan membantu, tetapi kuturuti saja keinginan Mama. Sejak menikah dengan ayahku dua tahun lalu (ibu kandungku sudah kabur lima tahun silam), Mama berusaha keras menggantikan peran ibuku sehingga kadang-kadang aku kasihan padanya.

Maka, hari Jumat sepulang sekolah, kutemui guru BK yang dihubungi Mama. Pertama, guru itu menanyakan minat dan bakatku. Kubilang tak punya. Lalu, setelah dia bertanya, "Bagaimana bila kaucari tahu sekarang?" kujawab bahwa aku ini biasa-biasa saja, takkan bisa mencapai prestasi apa-apa, dan oleh sebab itu aku tak perlu berusaha banyak-banyak. Akan kupilih jurusan dengan nilai kelulusan paling realistis saja menjelang ujian masuk universitas nanti, itu juga bila dapat beasiswa. Lagi pula aku sudah bisa menebak masa depanku. Dewasa nanti aku akan duduk selama 8 sampai 9 jam di kantor setiap harinya dan mempertanyakan mengapa hidup begitu monoton? Orang-orang biasanya menjadikan keluarga dan harta sebagai alasan, tetapi aku melakukannya demi mampu makan sehari-hari saja.

Si guru BK menghela napas panjang, lantas mulai menceramahiku soal pentingnya 'punya mimpi' dan menentukan masa depanku. Mengiming-imingiku tentang keindahan mencapai karier impian sambil membangun keluarga bahagia, bahkan menambahkan embel-embel ayat suci tentang pentingnya kebermanfaatan hidup di dunia berdasarkan sudut pandang agama. Cerewet sekali, sedangkan aku sudah ingin jajan bakso di depan gerbang sekolah. Karena itu, kukatakan pada guru tersebut bahwa aku kemari bukan untuk didongengi. Kubilang bahwa aku tak berminat dengan tujuh puluh dua bidadari di surga. Aku juga bertanya mengapa dia mau-mau saja 'punya mimpi' menjadi guru bergaji kecil? Tentu saja dia berakhir membentakku, menyuruhku keluar kantor, lalu berkata akan melaporkanku pada Mama.

Aku keluar dengan langkah ringan. Tak penting, semua obrolan tentang masa depan itu. Mau bagaimana lagi, aku sudah mencapai fase di mana aku mulai meragukan semuanya: omongan orang-orang, isu-isu sosial dan politik, agama dan kepercayaan, eksistensi diri sendiri, hingga kucapai kesimpulan bahwa hidup tak perlu bermakna. Yang kupercayai sekarang adalah bahwa aku lapar dan ingin makan bakso. Itu saja sudah cukup.

Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, aku mampir sebentar ke toilet. Di sana, semua pintu bilik terbuka, kecuali satu yang tertutup rapat di paling ujung. Selagi aku pipis di dalam salah satu bilik, samar-samar kudengar suara tangis dari bilik terujung. Ini memang masih pukul empat sore, tetapi sebagian besar murid sudah pulang jam segini. Dengan nekat, kutanya keras-keras, "Oi, kamu bukan setan, kan?"

Kukira takkan ada jawaban, tetapi kemudian kudengar balasan: "Bukan, h-hiks."

Yang mencengangkan dan lebih menakutkan dari setan, balasan itu adalah suara laki-laki.

Hal-Hal yang Patut DicibirWhere stories live. Discover now