Saya Mulas dan Merasa Ingin Mati Gara-Gara Monster di Dalam Kepala Saya Ini

1.5K 251 33
                                    

Ada monster di dalam kepala saya. Hitam, besar, gembrot, dan memadati diri saya selama bertahun-tahun. Kadang dia membuat saya sakit kepala. Kadang bikin mulas. Kadang dia membuat saya sakit kepala dan mulas sampai-sampai saya merasa ingin mati.

Tapi, dia sahabat saya satu-satunya.

Ada monster di dalam kepala saya. Seperti ular di dalam kepala seorang istri dalam cerpen A.S. Laksana, saya biarkan si monster membisiki kepala saya dengan ide-idenya yang tak kunjung habis. Kadang menyeramkan. Kadang bikin mulas. Kadang menyeramkan dan bikin mulas sampai-sampai saya merasa ingin mati.

Tapi, keberadaannya yang membuat saya bertahan.

Ada monster di dalam kepala saya. Menjalar, mengakar, dan berkelakar. Kadang saya ingin memeluknya supaya tak merasa sendirian dan kesepian. Kadang saya ingin dia membekap saya erat-erat sampai kehabisan napas, kalau bisa sampai mulas, sampai rasa ingin mati saya akhirnya terbebas.

Tapi, dia masih ingin bermain-main.

Suatu hari, si monster mengajak saya ke taman kota yang sudah sepi di tengah malam. Saya tak punya kerjaan lain, jadi saya menurut saja. Dibisikinya lagi saya kala itu oleh si monster, terutama perihal kegiatan-kegiatan yang sepertinya menyenangkan untuk dilakukan: mempermalukan perempuan jahanam yang telah menolak cinta saya, minum miras oplosan di warung dekat stasiun, menjadi buzzer paslon presiden di grup-grup chatting, menonton video porno dengan fetish jenaka, mengirim komentar pedas nan menyakitkan di akun media sosial selebritis Instagram, melecehkan seorang provokator yang memprotes pengesahan rancangan undang-undang kekerasan seksual supaya dia tahu rasa, atau melompat dari atap gedung tiga puluh tingkat di depan sana saja supaya saya tak usah repot-repot memilih opsi-opsi itu melulu. Saya tidak tahu, saya sudah tidak punya keinginan apa-apa—saya kira. Jadi saya hanya termangu di taman sambil memandangi langit tanpa bintang yang begitu-begitu saja.

Lalu, tiba-tiba, seorang anak kecil mendekati saya dari kegelapan taman.

Saya tidak tahu dia muncul dari mana. Barangkali sudah dari tadi dia berada di taman bersama saya, tetapi saya tidak sadar musabab kelimpungan oleh bisikan si monster di dalam kepala. Sementara, anak itu masih lanjut berjalan menghampiri saya. Perempuan. Sepantar murid sekolah dasar, mungkin kelas satu atau dua. Pakaiannya sungguh lusuh, seperti tidak pernah dicuci. Rambutnya masai, penaka tak pernah dijamah sisir. Saya hampir mengira dia anak jalanan yang gelandangan, sebelum menyadari ternyata dia membawa sebuah boneka kucing bagus nan mulus.

"Kakak, boleh aku minta tolong?" tanyanya pada saya tanpa malu-malu maupun ragu.

Saya melirik sekeliling tetapi tak melihat adanya orang lain (dan barang pasti si anak perempuan tak bisa melihat monster di dalam kepala saya), sehingga sudah jelas sayalah yang dimaksud. Saya tak menjawab—sebagian karena ragu, sebagian karena takut si monster akan membisiki saya untuk berbuat yang tidak-tidak padanya.

Namun, monster di dalam kepala saya malah diam.

Setelah anak itu cukup dekat, samar-samar melalui penerangan temaram lampu taman, saya dapat melihat luka-luka melintang pada kulit lengannya yang tak tertutupi kaus. Wajahnya juga tak mulus, ada goresan-goresan yang tampak masih segar mengeluarkan darah dan nanah. Tapi si anak perempuan tersenyum, seperti tak terpengaruh oleh luka-luka tersebut.

"Boleh, Kak?" tanyanya lagi padaku.

Karena monster di dalam kepala saya masih bungkam (mengapa pada saat seperti ini, sih?), saya terpaksa menjawab, "Apa?"

"Aku mau minta monster di dalam kepala Kakak," ujarnya, setengah memelas.

Ha? Tentu saja saya terkejut. Mengapa dia bisa tahu? Mengapa meminta dari saya? Tidak rela, saya pun menolak dengan beralasan, "Tidak bisa, dia hanya akan bikin kamu mulas."

"Tapi aku butuh dia."

"Untuk apa?"

"Pulang," ujarnya lancar pula santai, seumpama jawaban tersebut bukanlah hal paling aneh yang pernah saya dengar.

Monster di dalam kepala saya masih diam, penaka tersipu malu di hadapan anak perempuan itu. Saya masih tidak paham, tetapi kemudian saya amati sepasang mata cemerlang si anak yang tampak kontras dengan muka hancurnya. Sepertinya dia lebih membutuhkan si monster daripada saya. Dan, daripada saya terus dibuat pusing dan mulas dan ingin mati oleh monster di dalam kepala, lebih baik saya memberikannya cuma-cuma.

"Baiklah," ucap saya.

Begitu saja, dengan mudahnya.

Namun, ketika saya mengucapkan itu, kepala saya langsung pening luar biasa. Arus deras air tak kasat mata seolah membanjiri otak saya. Seakan-akan kepala saya adalah jamban dan isinya sedang digelontor oleh air banjuran. Saking perihnya, saya sampai memegangi kepala saya keras-keras sambil memejamkan mata. Lalu, begitu pening itu hilang, saya kembali membuka mata untuk mendapati sesosok bayangan hitam sudah mendampingi anak perempuan di hadapan saya.

Penampakan si monster persis seperti yang saya bayangkan selama ini: hitam, besar, gembrot, dan membumbung seperti awan. Tanpa mata, hidung, maupun mulut. Yang mana kepala, yang mana leher, yang mana pundak, yang mana kaki, tidak bisa saya bedakan. Yang kentara hanya sepasang tangan gembrot di samping tubuh bongsor yang tak jelas bentuknya.

Namun, keluarnya si monster dari kepala saya membuat anak perempuan itu kegirangan.

"Terima kasih, Kak!" serunya. "Aku sudah kesasar lama. Dengannya, kini aku bisa pulang. Boleh aku minta tolong sedikit lagi?"

Saya tak mengangguk maupun menggeleng. Masih bingung pula linglung. Yang jelas, saya sudah tak merasa mulas, meskipun sedikit-sedikit masih ingin mati.

"Apa?" Hanya kata itu lagi yang meluncur dari mulut saya.

Anak perempuan itu tersenyum kian lebar. Semringah. "Beritahu kucingku, aku sudah bisa pulang. Aku sudah tidak kesakitan, sudah tidak perlu dijilati. Ibu takkan bisa memukuli dan menggoresku lagi. Kucingku bisa main dengan bonekaku sekarang. Itu pun kalau kamu mau menyerahkan boneka ini padanya. Mau, ya?"

"Apa?" tanya saya lagi seperti orang dungu.

Namun, dengan kepedulian paling mulia bagi kedunguan saya, si anak perempuan meneruskan, "Kucingku menunggu di makam belakang taman ini. Belang kuning. Mata buta sebelah, dirusak Ibu waktu mau melindungiku. Kasihan tak ada yang kasih makan. Mau, ya?"

Si anak perempuan lantas menjulurkan boneka kucing bagus nan mulus itu pada saya. Nama boneka itu Hidup, katanya. Saya masih tak paham, tetapi saya pungut boneka tersebut. Saya ambil, lalu saya simpan dalam dekapan. Si anak perempuan tampak sangat bahagia dengan senyum teramat rekah, sementara si bumbungan monster—tanpa bisikannya di dalam kepala saya—masih bergeming di sampingnya.

Saat berikutnya, monster itu sudah pergi bersama si anak perempuan yang menggandeng tangan gembrotnya ke kegelapan. Tanpa kata perpisahan. Tanpa pelepasan. Entah bagaimana, firasat saya berkata si monster akan kembali lagi pada saya. Mungkin untuk menemani saya pulang juga, seperti yang dia lakukan pada si anak perempuan, tetapi bukan sekarang.

Lalu, tinggal saya sendiri di taman. Dengan mulas yang sudah hilang. Dengan rasa ingin mati masih lantang, tapi lama-lama mungkin akan lekang. Sebab kini saya punya boneka, dan boneka itu takkan bisa membisiki kepala saya dengan sembarangan seperti si monster.

Boneka kucing untuk seekor kucing yang menanti. Setidaknya, setelah ini saya tahu harus menuju ke mana.

Hidup mungkin tidak begitu indah, tapi kini hanya itu yang saya punya.





*****


Januari 2019
Efek kaget di-follow duluan oleh Dea Anugrah

Hal-Hal yang Patut DicibirWhere stories live. Discover now