Mimpi Subakti dan Diari Mentari

604 114 47
                                    

Subakti lahir di pagi buta dengan mata yang buta pula. Ayahnya kecewa, menyalahkan ibu Subakti, lalu minggat dan tidak pernah kembali lagi. Ibunya, malu ditinggal suami dan beranak cacat, turut minggat saat Subakti belum genap berumur empat tahun.

Sejak itu, seperti halnya sejak lahir, Subakti dirawat oleh sang nenek yang hanya bekerja sebagai penjual jajanan di pasar. Dibesarkan oleh kasih sayang, Subakti tumbuh menjadi pemuda yang baik dan taat. Seperti namanya: Subakti, suka berbakti. 

Tersebutlah bahwa sang nenek sering mendongengi Subakti sebelum tidur serta selagi mereka berdua menjajakan makanan di pasar. Karena tak dapat melihat, melalui cerita-cerita neneknya, Subakti dapat mengenal dan membayangkan dunia. Subakti pun beranggapan peribahasa surga di telapak kaki ibu tidaklah tepat. Baginya, surga berada di telapak kaki nenek.

Namun, setelah kepergian neneknya, Subakti hidup sebatang kara. Kini, nyaris berusia kepala tiga, dia bekerja sebagai tukang pijat, setiap hari berjalan dua kilometer dari rumahnya ke panti. Suatu hari, Subakti bertemu pengemis yang meminta-minta padanya di pinggir jalan. Seorang kakek tua. Berkata bahwa dia perlu uang untuk membuat orang bahagia. Subakti tak mengerti maksudnya, tetapi suara memelas kakek tua itu membuatnya iba. Dia pun memberi seluruh uang di dompetnya pada pengemis itu.

"Suatu saat saya akan balas budi ini," ucap si pengemis. "Datanglah ke tempat ini setahun lagi di tanggal yang sama."

Subakti masih tak mengerti, tetapi hanya tersenyum sebelum membiarkannya berlalu.

***

Sepanjang tiga dekade hidupnya, Mentari selalu dikatai buruk rupa. Semua orang yang dia kenal mementingkan tampang, terutama sang ayah yang sering berpindah dari satu wanita cantik ke wanita cantik lainnya.

Mentari bahkan merasa tak pantas menyandang namanya. Ibunya bilang, dia diberi nama Mentari supaya orang-orang bahagia memandangnya. Namun, paras Mentari berkata sebaliknya. Wajahnya yang penuh kerut, kedut, dan sengkarut membuatnya tak punya banyak teman, padahal Mentari senang bercerita. Membuat dongeng serta menyampaikannya pada orang-orang. Namun, karena tak ada yang tahan dekat-dekat dengannya, Mentari memilih untuk menulis diari. Satu hari minimal satu lembar penuh. Dia pun menyimpan tiap lembarnya, kalau-kalau suatu saat ada yang mau mendengarkan.

Suatu hari, Mentari bertemu pengemis yang meminta-minta padanya di pinggir jalan. Seorang kakek tua. Berkata bahwa dia perlu uang untuk membuat orang bahagia. Mentari tak mengerti maksudnya, tetapi suara memelas kakek tua itu membuatnya iba. Dia pun memberi seluruh uang di dompetnya pada pengemis itu.

"Suatu saat saya akan balas budi ini," ucap si pengemis. "Datanglah ke tempat ini dua tahun lagi di tanggal yang sama dan jam yang sama."

Mentari masih tak mengerti, tetapi hanya tersenyum sebelum membiarkannya berlalu.

***

Satu tahun bagi Subakti. Dua tahun bagi Mentari. Sesuai permintaan si pengemis, mereka berdua pun kembali ke tempat yang dijanjikan, murni karena penasaran. Namun, sesampainya di sana, tak ada si pengemis tua. Mentari hanya menemukan seorang tunanetra yang sedang duduk di pinggir jalan, sedangkan Subakti merasakan adanya kehadiran orang lain di dekatnya.

"Apa kamu melihat seorang pengemis di sekitar sini? Suaranya seperti laki-laki tua," tanya Subakti.

"Tidak," kata Mentari heran, menduga jangan-jangan mereka menunggu orang yang sama. "Apa kamu menungguinya juga?"

Subakti mengangguk. Kemudian, mereka berdua berkenalan satu sama lain. Sambil menunggu, Mentari pun menceritakan kisah-kisah dongeng dari diarinya sementara Subakti asyik mendengarkan, teringat mendiang sang nenek.

Hari itu, Subakti merasa mimpinya terwujud: untuk mendapat penglihatan kembali melalui cerita-cerita di diari Mentari.

Hari itu, Mentari akhirnya mendapat seorang pendengar, setelah selama ini orang-orang hanya menatapnya nanar.

Hari itu, tak ada pengemis yang datang, tetapi benih-benih cinta telah bertandang.

Setengah tahun kemudian, Subakti dan Mentari menikah. Banyak yang menggunjingkan mereka, banyak yang bertanya heran mengapa mereka memilih satu sama lain. Namun, tiap ditanya masing-masing, jawaban keduanya selalu senada: "Menurutku dia sempurna."

Hal-Hal yang Patut DicibirWhere stories live. Discover now