| k e p i n g d u a p u l u h d u a |

334 65 27
                                    

Sudah dua puluh menit lebih Martin mencoba menghubungi ponsel Melisa, tapi tidak ada jawaban dari sang empunya. Perasaannya jadi tidak tenang, apa lagi tadi yang mengangkat teleponnya adalah Median. Ia sama sekali tidak paham mengapa Median melakukan ini semua kepadanya dan Melisa.

Martin tidak ingat apa pun soal Median, masa iya Median melakukan ini karena kesal soal majalah sekolah yang memuat masa lalunya? Laki-laki itu menggeleng, tidak mungkin Media kekanakan seperti itu.

Tiba-tiba ia teringat bahwa masih ada email khusus majalah sekolah yang tersambung pada perangkat telepon genggam Melisa. Mungkin saja itu bisa membuat Martin mampu melacak dan mengetahui posisi Melisa saat ini. Dengan cepat ia mengunduh aplikasi pencari perangkat dan memasukkan alamat surel majalah ke dalamnya.

Gotcha!

Sekarang ia hanya perlu memilih perangkat mana milik Melisa. Dengan kening berkerut, Martin mencoba mengingat jenis ponsel Melisa. Padahal benda itu selalu dipegang oleh Melisa, tapi ia sama sekali tidak memperhatikan apa merek dari ponsel itu.

Martin menghela napas sebentar, ia harus tenang agar ia bisa menemukan Melisa. Seingatnya ponsel Melisa bukan ponsel yang umum digunakan oleh teman-temannya. Matanya meneliti nama perangkat yang tersambung dengan akun surel itu. Berulang kali ia mengganti bar pelacak untuk menemukan di mana Melisa,

Matanya tertuju pada salah satu perangkat yang sejak tadi bergerak dan tidak dalam posisi konstan. Logikanya, Median memang sedang Bersama Melisa dan mungkin keduanya tidak akan diam, melainkan menuju ke suatu tempat. Martin menarik napas lega. Akhirnya ia akan menemukan Melisa.

☆ ☆ ☆

"Median, kita mau ke mana?" tanya Melisa ketakutan, ia melihat Median yang saat ini sibuk menyetir dengan perasaan tidak nyaman. Baginya kini, Median yang ada di depannya bukan Median yang selama ini Ia kenal.

"Menuju satu tempat di mana kita bias bicara lebih tenang. Ada beberapa hal yang aku ingin kamu tahu, Mel."

Melisa tidak lagi menjawab, yang ada di pikirannya saat ini hanya bagaimana ia bisa kabur dari sini dan melepaskan diri dari Median. Ia sempat terpikir tentang Martin yang ia usir sejak kejadian waktu itu. Jangan-jangan memang Martin yang selama ini benar---dan Melisa salah.

Mobil Median terus melaju dengan kecepatan semakin tinggi, melewati jalanan yang semakin sepi. Namun, Melisa mengingat satu hal, ia pernah melewati jalanan ini.

Cewek berambut Panjang itu mengigit bibirnya sambil memainkan jari di kedua tangannya. Ia harus berpikir cepat, atau mungkin semua akan segera terlambat.

Ia mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang mungkin bisa ia manfaatkan untuk meminta bantuan atau melarikan diri. Telepon gengga, yang ia bawa tadi sudah dipegang oleh Median, dan dengan kecepatan mobil setinggi ini, sangat tidak memungkinkan baginya untuk kabur dan melompat ke luar mobil. Kalaupun ia berhasil selamat, tapi luka yang diciptakan oleh benturan itu bukan tidak mungkin akan membuatnya sulit berlari lebih jauh---dan tentu saja semua usaha kaburnya akan menjadi sia-sia.

"Gue beneran nggak ngerti apa yang bokap lo bilang tadi," ucap Melisa pelan, ia hanya perlu mengulur waktu untuk selamat.

Median tersenyum sinis. "Lo nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti, Mel? Papa belum cukup gila untuk bicara aneh yang tidak berdasar."

"Gue nggak ngerti, Median," jawabnya sambil susah payah menelan ludah. "Gue nggak ngerti kenapa bokap lo bilang kalau bokap gue orang jahat?" lanjutnya. "Gue juga nggak ngerti kenapa lo harus pura-pura jadi Mal, temen kecil gue."

"Gue nggak pura-pura jadi Mal, dan gue memang teman masa kecil lo. Mungkin lo aja yang terlalu seneng bakal ketemu cinta pertama lo makanya lo nganggap Mal itu gue," sahut Median, mobil yang dikendarainya melaju lebih cepat dan berbelok semakin dalam.

a Puzzling of Journalism [END]Where stories live. Discover now